"Selamat datang di rumah
kebudayaan”!. Hari pertama menjejakkan mimpi dan angan di fakultas Sastra Unhas
kalimat itu sempat membuat saya terkesiap sekaligus membuat saya merinding,
sungguh!. Spanduk panjang tanpa sentuhan Corel
draw ataupun Photoshop itu
terpampang sepanjang koridor menjadikannya bentuk sempurna dari gapura penyambutan.
Saya kuliah di fakultas Sastra Unhas
dari tahun 2005 dan berhasil mental di 2011. Untunglah bisa keluar ketika
semester masih dikisaran 12 karena predikat legenda tak jadi disematkan kepada
saya. Berbahagialah kata salah satu teman karena
saya masih di level Sesepuh. Sama saja Anjirrr!. Terlalu banyak keriaan dan kesedihan yang bisa
saya ceritakan ketika masih menjadi warganya sampai mungkin media ini tak mampu
menampung. Menjadi anak Sastra ketika dunia memimpikan menjadi Arsitek atau
membuka praktek Dokter umum menjadikan pilihan saya terlihat aneh yang kadang orang tak mengerti
dan saya pun begitu. Sempat merasa salah tempat namun akhirnya sadar untuk
meneruskan dan mau tak mau menikmati.
Euphoria Pesta,buku, dan cinta
saya rasakan betul selama di sana. Saya ada ditahun-tahun di mana semuanya
mulai beralih dan berubah. Mulai ditiadakannya Ospek yang katanya menjadi momok
dan kemunculan flash disk yang saat itu menjadi kebanggaan ketika
mengalungkannya di leher setelah sekian lama cuma mengenal disket. Saat dimana wifi belum semarak dan hanya bisa
didapatkan diperpustakaan-kita belum bisa menggalau lewat Facebook maupun twiter. Saat dimana ketika berangkat dan pulang kuliah
alunan suara Ariel dan Ian kasela setia
menemani dari radio butut daeng si empunya pete-pete (angkot). Romantisme mahasiswa
ketika berjaya menurunkan Suharto 98 lalu masih terasa dan makin menjadi ketika
film Soe hok Gie keluar di bioskop. Gegara film itu semua orang ingin terlihat
menjadi Gie yang saya kira kala itu sejenis batu Giok. Orang-orang lalu lalang dengan menenteng buku
yang tebal nya ampuh untuk mengusir begal “Catatan Seorang Demonstran” dengan gambar water mark Nicholas Saputra nyempil di
sampulnya. Yes, akhirnya ada seorang
China yang mengajarkan kita lebih dalam tentang nasionalisme ketika sekian lama
cuma dijadikan ceng-cengan rasial dengan celetukan “Siapa yang jaga toko?”
ketika ada teman yang bermata sipit. Perempuan Sastra pun begitu, masih
terlihat “macho” karena belum ada celana yang membuat cewe’-cewe’ itu susah untuk
buang air besar. Semua highlights itu membuat saya terkekeh dan merindu. What a wonderfull!
Oh iya saya lupa memberitahu,
saya kuliah di jurusan Sastra Inggris (Sasing). Mungkin ada yang tak setuju,
namun saya merasa jurusan saya ini menjadi main
core nya Satra Unhas. Berbicara Sastra Unhas ya harus berbicara Sastra
Inggris. Dengan sumber daya yang meruah tak pelak mahasiswa Sastra Inggris
menjadi faktor dominan. Tanpa menafikan jurusan lain yang ada di Sastra ya, mari
kita jujur-jujuran Sastra Inggris mau tak mau menjadi kawah Chandradimuka-nya wece-wece (cewek-cewek) unyu di Sastra,
iya kan?. Berbicara cinta dalam trilogi Pesta,buku, dan cinta kiblatnya ya anak-anak Sasing. Tak perlu cakep-cakep
amat yang penting anak Sasing pasti anda dilirik, apalagi yang wajahnya segaris
dengan Chelsea Islan atau Maudi Ayunda..begh tak usah ditanya. Mereka menjadi madu
dari banyaknya lebah. Tak saja untuk wece-wece,
kami para pria-pria Sasing tak lantas Insecure
karena banyaknya saingan dan tingginya demand. Tak mampu
bermain (tidak laku) di internal Sasing masih banyak bunga di luaran sana yang menunggu,sadaap.
Kembali lagi ke teorinya tak perlu cakep-cakep amat yang penting anak Sasing. Untuk
teman-teman di Sejarah, Arkeologi,Sastra Daerah, Perancis, Indonesia, Arab dan Jepang
akuilah bahwa faktanya memang seperti itu.heheheh..piss.
Sorry kalau ada yang tersinggung dan tak setuju dengan pendapat
saya di atas. Tak ada maksud untuk berusaha menciptakan kelas apalagi
ke-eksklusif-an, ini murni subjektifitas saya, percayalah semuanya akan berakhir dan bermuara di mace Indah atau mace Muli'. Mace-mace menjadi
panggilan akrab kita untuk sang peri sekaligus dewi penolong ketika masa-masa
cekak karena kiriman uang orang tua kian menipis di akhir bulan. Ibu-ibu yang
hidup dari jualan Indomie,kopi dan gorengan ini menjadi thesis mahasiswa Sastra
yang tumbuh dan mulai mencari jatidiri dengan membaca Marx ataupun Nitze. Diskusi
lepas selalu dimulai dari depan lapak yang jauh dari kata mewah. Dengan beberapa
bangku panjang sedari pagi telah dijejali pantat-pantat yang teriak bahwa Agama
itu Candu sampai Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburahman el Shirasy. Tak ada sekat
jurusan dan angkatan tak ada sekat kaya ataupun miskin biarpun orang-orang
bilang mace-mace itu untuk segmen
mahasiswa seperti saya, mahasiswa yang ekonominya ada di level menengah ke bawah…entahlah. Mace-mace juga bisa menjadi tempat mencari sparing partner gea (berdebat) setelah semalam tadi mengisi
kepala dengan buku-buku Sastra dan pergerakan biarpun cuma sampai di halaman
kata pengantar. Semuanya menjadi sah di arena yang tak sengaja diciptakan para mace-mace itu.
Kharisma mace-mace sedikit
memudar ketika Kantin Sastra a.k.a Kansas eksis kembali. Kantin yang pernah
dipakai pak Bondan syuting untuk bilang maknyus ini perlahan mengambil hati. Coto
Makassar, Ayam penyet, Sop Saudara sampai kopi Dg Sija menjadi hiasannya. Siapa
yang tak tergoda setelah sekian lama cuma mengecap makanan itu dari kuah
Indomie saja. Kantin yang awalnya hanya diisi oleh mahasiswa sastra sendiri
perlahan terkena Invasi dari anak-anak tetangga. Kansas berada di Sosial
Peninsula begitu saya menyebutnya. Karena letaknya di tengah FIS (Fakultas Ilmu
Sosial) mengakibatkan anak Sastra tak lagi menjadi penguasa sendiri ketika anak
Ekonomi dan Hukum mulai mengambil alih. Tak heran ketika dulu di jeda waktu
kuliah yang bertepatan dengan jam makan siang kita tak perlu antri dan leluasa
mendapatkan meja. Namun lamat-lamat sudah seperti restoran bintang 5 yang mengharuskan
reservasi dulu sebelum mendapatkan tempat saking ramai dan padatnya. Lebay?iya,heheu.
Setelah invasi terjadi motivasi untuk makan di Kansas menjadi bias. Bukan lagi
makan karena lapar semata tapi ada agenda yang lebih besar dari itu apa lagi
kalau bukan memanjakan mata melihat wece-wece super ucul anak-anak Ekonomi dan
Hukum. Sudah menjadi stereotype hampir
di semua kampus di Indonesia bahwa mereka memiliki “bunga-bunga” di atas
rata-rata. Perut terisi mata pun tercuci, sebuah perpaduan yang lengkap. Buat saya
yang pas-pasan Kansas hanya untuk minggu pertama di awal bulan ketika dompet
masih menyembulkan Sukarno dan Gusti Ngurah Rai. Ketika telah berteman dengan
sang Penenun songket dan Pattimura saya tau harus kembali kepangkuan siapa.
Hmmm….Dua tempat yang punya
ceritanya masing-masing seperti antara Anyer dan Jakarta-nya Sheila Madjid begitu
juga antara Mace Indah dan Kansas memiliki nada yang sama. Maka Wawan bersabda “Orang-orang yang merugi
di Sastra adalah ketika mereka tak mendapatkan cerita dari keduanya”.heheu
NB: foto tulisan ini saya cuma comot langsung dari google, maaf untuk yang punya foto di atas saya pakai sebagai header tulisan saya. terima kasih sebelumnya.
NB: foto tulisan ini saya cuma comot langsung dari google, maaf untuk yang punya foto di atas saya pakai sebagai header tulisan saya. terima kasih sebelumnya.