Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Senin, 29 April 2013

Makassar Menuju Kota Dunia Yang Salah Kaprah

By: Unknown On: Senin, April 29, 2013
  • Share The Gag
  • Saya bukan asli Makassar namun saya memperhatikan kota ini dengan cukup seksama. Selama hampir 8 tahun saya hidup, menetap, berinteraksi di kota ini ada perasaan senang,bangga, resah,dan kadang dongkol bagaimana kota ini sejatinya masih mencari jatidiri. Tidak bisa dipungkiri Makassar bukan saja milik warga Makassar itu sendiri namun sudah menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi-Selatan. Ada perasaan senang bahwa Makassar kini sudah menjelma sebagai salah satu kota besar di Indonesia di luar Jawa selain Medan, dalam indeks pembangunan manusianya Makassar menjadi yang pertama di KTI (kawasan timur Indonesia) dan menjadi yang ke-7 secara nasional tidak heran bagaimana Makassar disebut-sebut sebagai Epicentrum indonesia kini yang mencoba bangkit dari timur (ketika Jawa dan Sumatra sudah begitu sesak), menjadi gerbang Indonesia timur, dan segala kemajuan yang telah diraih.

    Saya selalu percaya bahwa setiap kota di bangun dengan sebuah konsep yang mampu memanusiakan manusia. Bagaimana konsep itu harus sejalan dengan pola gerak dan interaksi manusia. Faktor Psikologis dan Sosiologis harus selalu menjadi pertimbangan, dan tentunya konsep aman dan nyaman bagaimana kota harus ramah kepada siapapun yang ada di dalamnya. Mungkin terdengar klise karena permasalahan ini hampir menjadi permasalahan disemua kota di Indonesia pun Jakarta yang berlabel ibu kota negara, namun untuk Makassar mungkin masih punya waktu untuk memikirkannya dari sekarang.

    Untuk itu pemerintah kota Makassar mencetuskan visi bahwa Makassar akan menjadi kota Dunia. kota Dunia? menjadi pertanyaan dibenak saya atau mungkin teman-teman, Makassar menjadi kota dunia dengan apa dan bagaimana?. Dan kita bisa lihat sekarang perkembangan Makassar dalam rangka menuju Kota Dunia, bangunan tinggi dimana-mana, membangun jalan layang, hotel-hotel berbintang, pusat-pusat niaga yang menjamur, jalan di perlebar sampai 4 ruas,reklamasi pantai di mana-mana, saking pesatnya pembangunan di Makassar sampai ada anekdot bahwa sehari saja meninggalkan Makassar dan kembali keesokan harinya akan ada lagi bangunan baru yang menjulang.

    Tapi benarkah Kota dunia seperti itu dengan mengorbankan kenyamanan Manusianya? anomali yang terjadi dari itu semua adalah kesemrawutan menandakan bahwa adanya konsep salah kaprah mengenai kota Dunia. Untuk apa pembangunan pesat jika manusia tidak diikut sertakan dalam artian dibuat nyaman, dibuat mereka menjadi manusia. Pembangunan ruas jalan baru dan pelebaran jalan bukan solusi mengurai kemacetan malah memberi ruang baru, tidak ada hak untuk pejalan kaki karena konsepnya masih menggunakan jalan sebagai tempat mesin-mesin (mobil,motor) bukan untuk manusia. reklamasi pantai yang saya tahu tujuannya baik tapi apakah sudah di pikirkin ketahanannya dalam kemampuan menghadapi perubahan iklim. Kota jauh dari kata bersih dengan sampah di mana-mana. 

    Belum lagi persoalan Manusianya, klise kita mendengar Makassar bisa Macet karena Mahasiswanya doyan demo, tidak tanggung-tanggung demonya bisa di lima titik di dalam kota. Belum lagi media nasional yang berfungsi sebagai humas  yang sangat efektif memperkenalkan makassar sebagai kota yang rawan tawuran dan aksi kriminal. Apakah memang konsep kota dunia seperti itu dengan membangun sebanyak-banyaknya dan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan manusianya. Jika melirik kota-kota dunia tidak usah jauh-jauh Singapura mampu menerapkan konsep kota Dunia yang bersahaja tanpa mengabaikan manusianya.

    Mapala dan Kelatahan yang Mengikuti

    By: Unknown On: Senin, April 29, 2013
  • Share The Gag


  • Dalam perjalanannya dunia petualangan di Indonesia maju dan berkembang pesat. Ditunjukkan makin banyaknya prestasi anak bangsa dalam dunia kepetualangan saat ini, kalau megukurnya dari sisi kepetualangan itu sendiri bagaimana misalnya dimulai pada era Norman Edwin (Mapala UI) yang tewas di Argentina dalam misinya menaklukkan 7 puncak tertinggi dunia, ada Korps pasukan khusus (kopasus) bersama Wanadri yang melirik juga dan mampu menaklukkan Mount Everest, yang terakhir teman-teman dari mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung yang mampu menyelesaikan 7 Puncak teringgi dunia. Perkembangan lain yang sangat nyata adalah maraknya acara-acara di TV nasional yang mengangkat tentang perjalanan dan petualangan, hal ini menunjukkan bahwa dunia kepetualngan atau dunia kepencinta alaman punya tempat tersendiri. Yang sangat nyata tentu tumbuh suburnya kelompok-kelompok yang bergenre kepetualangan mulai dari kampus (Mapala) sampai komunitas di masyarakat (KPA).

    Saya cukup lama berkecimpung dalam dunia kepencinta alaman terutama selama saya di kampus dulu. Mempelajari persolan sejarah, interaksi, dan bagaimana sebuah kegiatan kepetulangan itu disusun dan di rencanakan. Ada yang unik sebenarnya jikalau kita jeli melihat bahwa teman-teman dalam komunitas ini sebenarnya punya anekdot,tingkah laku, dan cara bersosialisasi yang eksklusif yang tanpa di sadari di bentuk sendiri oleh mereka. Namun bukan itu yang saya akan bahas tapi persolan Kesejarahan Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam), karena saya berasal dari Mahasiswa pecinta alam sewaktu kuliah dulu jadi itu yang menurut saya lebih dekat untuk saya ceritakan. Kita tahu semuanya atau ada teman-teman yang belum tahu bahwa kata Mapala pertama kali dicetuskan pada kurun waktu 1964-1965 oleh mahasiswa-mahasiswa Universitas Indonesia Untuk menamakan kelompok mereka yang gemar naik gunung. Pada saat itu memang sudah dikenal istilah pecinta alam namun untuk istilah Mapala baru mahasiswa UI yang menggunakannya yang di ambil dari singkatan Mahasiswa pecinta alam dan ada juga menyebutkan bahwa istilah itu diambil dari nama buah yang disebut Gajah Mada dalam sumpahnya untuk menyatukan nusantara. 

    Jadi kalau mendengar nama Mapala maka kita akan merujuk ke satu titik yaitu Mapala UI bukan yang lain biarpun kita tidak menambahkan Kata UI di belakangnya maka tetap kata Mapala itu akan merujuk ke UI bukan yang lain. Pembelokan makna itu yang terjadi sekarang kata Mapala menjadi jamak dan latah digunakan oleh kalangan kampus dalam menamakan kelompok pecinta alam mereka. Tidak ada yang salah dari situ karena si empunya nama juga tidak keberatan akan persoalan itu namun pengetahuan tentang sejarah penamaan coba saya share supaya kita sama-sama belajar. 

    Untung saja teman-teman UI tidak meng-Hak Patenkan nama itu karena jika iya siapaun organisasi yang akan memakainya harus terlebih dahulu mengurus admistrasi dan membayar royalti atas penggunaanya dalam hal ini di atur dalam UU Hak Kekayaan Inteletual. Jadi penggunaan terminologi Mapala bukan merujuk pada Mahasiswa yang bergelut di dunia pecinta alam tapi Mapala merujuk pada satu Institusi yaitu UI jadi jika menyebut Mapala yang ada dipikiran kita cuma UI bukan yang lain. Salam Lestari....