Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Selasa, 08 Agustus 2017

Tagged Under:

NDESO

By: Unknown On: Selasa, Agustus 08, 2017
  • Share The Gag
  • Gara-gara melihat tulisan kawan Ulla Nasrullah tentang oposisi binernya,jadi berani dan mulai melanjutkan tulisan yang nyerempet politik lagi. Bukan apa-apa sekarang ini kalo kita menulis soal politik apalagi  sesuatu yang bersebrangan dengan pemerintah bisa-bisa langsung dicap hater dan paling parah saya bisa ujug-ujug menjadi anggota ormas Islam tertentu tanpa kartu tanda keanggotaan. Mungkin tidak sekeren tulisan teman saya itu yg berbasis teori apalah-apalah,saya taunya cuman nulis entah ada teori nya entah ada isinya saya mah bodo amat yang penting nulis.

    Mungkin terlalu jauh kalau saya membicarakan Indonesia secara keseluruhan, keresahan saya muncul,ada dan timbul justru dari teman-teman terdekat yang tiba-tiba bisa menyalak dan menggonggongi kita karena status-status di sosmed yang kebetulan tidak sejalan dengan pemerintah. Jadi sekarang itu trendnya mengarah ke puja puji ke pemerintah,yang tidak seperti itu akan terlihat aneh dan tiba-tiba dimasukkan kegolongan orang-orang kurang piknik. Saya mencoba memahami dan menolak untuk baper. Saya cuma menyayangkan, kondisi ini ada gara-gara sistem demokrasi kita yang tiba-tiba berubah bagai ajang pencarian bakat,ajang idol-idolan yang akhirnya tidak lagi menghasilkan konstituen tapi malah melahirkan Fans. Orang-orang yang tidak mau ikut kedalam fanbase besar ini akhirnya dicap haters. Iya semudah itu polarisasinya. Ibaratnya,saya dikatakan kuno dan ketinggalan jaman karena suka dengan J-Pop dibanding menjadi die hard K-Pop. Saya memakai K-Popers untuk mereka-mereka ini karena kita semua taulah bagaimana Die Hard nya mereka sampai Bruce Willis pun mungkin akan keder. Nggak boleh ada seorang pun yang mengkritik idolanya sekali itu kita lakukan, alamat buat kita.

    Perdebatan antara lebih baik mana menjadi Fans atau Haters bagai perdebatan yang mana lebih dulu ayam apa telur,atau perdebatan yang ra uwis-uwis mana yang lebih mulia menjadi wanita karier atau menjadi ibu rumah tangga 😀😀. Susah kan,tapi kalo saya buat sederhana, lebih keren mana menjadi Fans atau Haters semua sepakat rata-rata kerenan menjadi Fans katanya,karena kalo bagian ini akan terlihat berpikiran terbuka,smart,toleran dan bla-bla di sisi yang lain akan terlihat punya pikiran sempit, intoleran, dan hidup penuh kegelisahan. Belum apa-apa yang sebelah sana sudah menstigma negatif orang lain :)).

    Dalam kondisi normal mestinya tidak ada kedua frasa itu,catat kondisi normal loh ya. Karena dalam demokrasi, setelah memilih pemimpin, rakyatnya harus kembali berposisi sebagai watch dog, sebagai anjing pengawas buat pemerintah yang bisa kapan pun menyalak ketika tuannya keblinger. Jangan menjadi anjing sirkus, dicekokin apapun langsung ditelan mentah-mentah dan selalu mencari rasionalitas dari penyimpangan tuannya.

    Menjadi watchdog disini saya kondisi kan dalam pandangan ideal bukan berbasis model Jonru atau Hafidz Ary ya, tolong ini diunderline. Sedari awal kan kita sudah mendeklarasikan kita ini generasi pembaharu, generasi yang rasional,pemilih cerdas dan sederet jargon lainnya.kalo keadaan ini terus berlangsung orang-orang yang ada di menara gading sana ambil keuntungan sedangkan kita semut-semut ini saling hadap-hadapan,caci-cacian,atau mungkin yang paling ekstrim saling bunuh-bunuhan dan akhirnya tidak mendapatkan apa-apa.Apes.

    Pemegang kebenaran atau istilah kerennya self righteous,iya banyak teman yang berubah menjadi seperti ini. Ada teman yang mulai gampang meng-goblok-goblokan karena merasa paling benar, menjadi orang yang sepertinya sudah melahap semua jenis buku padahal yah senjatanya cuma meme atau nge-share infografis kosong ala akun-akun buzzer, Pintarnya di mana coba? Dikasih argumen sedikit jawabannya nda nyambung.kalo orang sekarang bilang ad hominem,karena memang tidak ada gagasan sama sekali. Tipikal fan yah gitu pakai kacamata kuda.

    Pernah saya hampir mau muntah saking enegnya pas lagi booming masang twibbon "saya Indonesia,saya Pancasila" yang apa-apalah itu di setiap ava sosmed. Pernah dalam satu waktu mosting lip Service Soe Hok Gie yang terkenal itu yang isinya kira-kira begini ''kami katakan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya slogan. Patriotisme tidak mungkin akan tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan...dst". Eh besoknya tiba-tiba masang twibbon "saya Indonesia,Saya Pancasila". Tau ah gelap. Jadi sebenarnya mereka nda punya konsen sama sekali cuma ikut arus apa yang lagi mainstream. Saya nda ikut-ikut soal itu bukannya saya nda Pancasilais bukannya saya nda nasionalis tapi kita taulah kenapa tiba-tiba ada jargon-jargon itu. Asalnya dari mana dan tujuannya apa. Dan hasilnya sekarang dengan mudah kita tebak,orang yang berbeda dengan pemerintah akan dicap seperti itu. Buktinya? Tuh Perppu yang baru keluar,yang kalo kita ambil kesimpulan isinya itu lebih ke yang tidak Pancasila adalah musuh dan wajib diberangus. Yaelah katanya demokrasi,ada yang coba adu gagasan langsung dicap "kafir" sama negara. Sudah macam Propaganda "Uber Alles" nya Joseph Gobbles yang jadi alasan Nazi membantai Yahudi Eropa.hehhe.
    Mau bukti lain,liat noh Viktor Laiskodat ketua fraksi Nasdem di DPR, menjadikan isu intoleran,anti Pancasila menjadi bahan jualan supaya partai nya laku. Iya serendah itu kok slogan Pancasila dan nasionalisme menye-menye itu sekarang, tidak lebih hanya digunakan sebagai bahan dagangan.

    Oke kembali ke laptop. Soal kritik mengkritik pemerintah mah bukan barang baru,bukan terjadi sekarang ini saja. Ini perilaku normal demokrasi. Toh yang dikritik juga basisnya pada kinerja, bukan aliran kritik Jonruisme yang muaranya fitnah. Toh tidak ada yang salah ketika kita ngeluh Listrik naik,Bawang mahal, garam menjadi langka, karena ada yang pernah bilang bahkan sampai berjanji bahwa tidak akan menaikkan TDL kalo saya berkuasa. Saya tidak akan mengekspor bahan dasar agar kedaulatan petani-petani tetap terjamin eh kenyataannya malah sebaliknya. Sini saya kasih tau deh,semua orang yang di luar pemerintah itu akan terlihat sosialis memang tapi ketika mereka masuk dan jadi penguasa akan berubah menjadi kapitalis tulen. Itu kenyataan nya, nda percaya? Lagi? Coba perhatikan deh narasi-narasi PDI perjuangan saat jadi oposisi dan saat sekarang menjadi ruling party.dulu menggunakan frasa "menyengsarakan rakyat", sekarang dengan "subsidi dialihkan",sebuah permainan kata yang haqiqi.😁😁
    jadi dari semua kenyataan ini cuma mau bilang,kalo taklid jangan buta-buta amatlah.

    Yang jauh lebih menarik dari politik kiwari adalah apapun masalahnya SBY harus ikut terlibat. Beneran saya nda paham ini,kenapa muka SBY selalu nongol di Timeline Facebook atau Twitter saya sambil dicaci. Hmmmmm mungkin karena terlalu banyak statement pak Beye yang berseberangan dengan sang  junjungan. Ini seperti sudah otomatis terdefault siapapun yang menyinggung junjungan kita,hanya ada satu kata "LAWAN",yaelah. Dulu saja ngomong dasar Jendral baperan eh malah sekarang mereka-mereka ini yang malah gampang baperan. Poin pak Beye ini menarik karena jika ada keputusan yang mesti diambil rezim sekarang yang tidak populer, alasannya karena ini warisan rezim sebelumnya sehingga membuat kita jadi sulit begini.dan para die hard pun bersorak dan mengiyakan. Abluy,kasihan amat pak Beye,sudah tidak punya kuasa tapi sekarang masih diseret-seret juga lalu dibully habis-habisan. Layaknya komedi, pak Beye ini ditaruh pada punchline pelengkap penderita. Pak Beye ini dijadikan pembanding dengan pak Jokowi dalam angle kegagalan. Narasi yang dibangun untuk pak Beye "dulu 10 tahun ngapain aja" atau "kebanyakan bikin album sih sampai lupa urus negara". Serius sampai segitunya tapi kalo mau sedikit usaha sih,data bertebaran di mana-mana tentang apa yang dilakukan papanya Agus ini selama jadi presiden. Saya pun punya data lengkap nya tapi nda usahlah saya share di sini nanti banyak yang kejang-kejang lagi. Tapi yang jelas dulu ketika pak Beye berkuasa,media ataupun kita-kita ini tidak terlalu menyukai hal-hal yang berbau seremonial dan gunting pita namun sekarang hal itu diumbar agar supaya...Ya gitu deh. Sama persis yang dilakukan Mr "Piye kabare? Penak jamanku toh!", politik seremonial.

    Justru selalu dibawa-bawa nya SBY ini sebenarnya bisa jadi indikasi bahwa bisa saja pemerintah sekarang tidak bisa apa-apa lalu untuk menutupi itu cara yang sangat mudah adalah dengan menyalahkan orang lain dengan cara mencari cari kesalahan untuk dijadikan perbandingan dan alat ngeles zig-zag kayak bajaj. Dan yang paling parah prestasi-prestasi pendahulu berusaha dikubur, dihilangkan seolah-olah tidak ada yang dikerjakan. Sialnya pak SBY yang diserang habis-habisan ini punya sumber daya dan kebenaran fakta yang bisa membalikkan itu dengan sangat mudah dan valid.
    Mungkin teman-teman yang membully Paka Beye ini alpa bahwa pembangunan ini soal kesinambungan,tidak akan ada tuh namanya superhero ataupun Satria Piningit yang bisa mengubah sesuatu dalam sekejap apalagi kalau cuma 5 tahun. Kalo model berpikir seperti ini masih saja terus dipakai, negri ini tidak akan punya Tembok besar China nya sendiri. Great Wall itu dibangun Beratus tahun sampai ditahap rampung,melewati banyak dinasti dan kekaisaran. Dinasti yang pertama membangun nya tidak pernah menikmati apa yang digagasnya di awal.kalo model kita sekarang ada dipemikiran para pemimpin China yang lalu mungkin sekarang tidak ada namanya Tembok Besar China yang termasyhur itu karena masing-masing pemimpin bertahan pada egonya masing-masing.

    Banyak yang bilang pak Jokowi bisa saja tidak terpilih lagi untuk periode selanjutnya bukan karena pak Joko jauh dari prestasi tapi karena keberadaan para Buzzer dan Fans nya yang tiap hari tak henti-hentinya menyalak dan membully siapapun yang coba mengkritik Presiden.

    Yo biasa wae to mas ojo gumunan. Ngopi sek ben waras supaya nda anti kritik,kalo masih anti kritik juga biarpun dah ngopi klean NDESO.

    0 komentar:

    Posting Komentar