Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Rabu, 16 November 2016

Review Film Uang Panaik : Kekakuan dan keengganan Mengkritik

By: Unknown On: Rabu, November 16, 2016
  • Share The Gag


  • Film dengan nuansa lokal yang sangat kental,diputar di jaringan bioskop nasional dengan total penonton sekitar 400.000 tak ada kata yang pas untuk menggambarkan selain luar biasa. Mencengangkan memang, untuk diputar hampir di seluruh Indonesia saja menurut saya itu sudah menjadi pencapaian yang terasa mewah.Apalagi ditambah dengan jumlah penonton yang menyentuh hampir setengah juta mengingat jadwal tayangnya bersamaan dengan Warkop Reborn (film Indonesia terlaris sepanjang masa), what an achievment. Tapi apakah cerita film ini seluar biasa pencapaiannya?...hmmm untuk mencoba menjawabnya mungkin frase ini cocok "film laku belum tentu bagus" :)

    Ini film kedua yang coba saya review dalam blog saya ini, jadi jelas blog ini bukan blog khusus film,sinetron atau FTV jadi ya maaf kalau cara saya nge-review masih amatiran :). Oh iya saya baru nge-review ini karena di kota di mana saya menetap sekarang bioskop nya tidak memutar film ini alhasil saya bisa menonton film ini lewat Youtube saja. Terima kasih siapa pun kamu yang sudah mengunggahnya :). 

    Tidak ada yang baru dari tema yang diangkat film ini tetap dengan cerita cinta yang senantiasa direcycle mencoba diperbaharui namun terasa usang. Film ini mengangkat kisah seorang pemuda bernama Ancha yang dengan gigih memperjuangkan cintanya kepada seorang wanita bernama Risna namun perjuangannya harus dihadapkan dengan tingginya uang panaik yang diminta pihak keluarga Risna kepada Ancha sebagai salah satu syarat pernikahan. Di kalangan suku Bugis/Makassar mengenal istilah uang panaik, sejumlah uang yang harus dipersiapkan oleh calon mempelai laki-laki kepada pihak perempuan tapi perlu diingat ini bukan  sebagai mahar, mahar ada di sisi yang lain. Dalam konteks budaya Uang Panaik ini mungkin sebagai sebuah bentuk "penghargaan" pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang sialnya makin ke sini nominalnya terasa makin tidak masuk akal. Ada bumbu strata sosial,bumbu tingkat pendidikan yang menjadikan Uang Panaik makin mahal yang terasa seperti adu ego dan gengsi. Dari penjelasan singkat tentang uang panaik ini bisa kita tebak bagaimana film ini memunculkan konfliknya.

    Dengan premis cinta itu harus diperjuangkan jadilah plot cerita film ini membawa kita melihat usaha-usaha Ancha untuk bisa menggenapi nominal uang yang diminta keluarga Risna dan bagaimana jatuh bangun dan berlikunya hubungan mereka berdua,klise. Saya menikmati paruh pertama film ini, saya menangkap ada formula ala film Thailand di dalam membangun ceritanya terutama pada part-part komedinya. Jokes timing dan kekonyolan pemainya terasa Thailand banget apalagi kemunculan Dynamite duo, the local heroes Tumming dan Abu makin membuat kesan saya ter-amini. Tapi memasuki paruh kedua film agaknya sang sutradara mulai kebingungan kemana cerita akan dibawa. Dan asumsi saya bahwa film ini mengikuti formula film-film Thailand kebanyakan, yang membombardir kita dengan joke dan kekonyolan di awal tapi setelah itu meluluh lantakkan emosi dan perasaan kita di ujung cerita tidak terbukti malah terasa ringkih dengan ending yang kentang. Sang sutradara gagal mengeksekusi jalinan cerita diparuh kedua film. kegagalan membangun emosi yang sudah saya rasa di paruh pertama mungkin karena banyaknya kebetulan-kebetulan ala sinetron yang coba disisipkan. Kehadiran Hasna dan Farhan yang bisa sangat mudah kita tebak sebagai pemicu konflik dalam cerita setelah sang sutradara kebingungan menciptakan konflik selain Uang Panaik dan perbedaan starata sosial antara Ancha dan Risna. Yang membuat saya sedikit terganggu adalah kemunculan Hasna yang di dalam film diceritakan sebagai sepupu Ancha. Glendotan dan manjanya Hasna yang ngedusel ke bahu Ancha terasa asing untuk saya, seakrab-akrabnya kita dengan saudara tidak akan semenye-menye itu saya kira sampai ada adegan Hasna merapikan dasi Ancha sebelum berangkat kerja :). Mungkin, ini cuma tebakan saya  si Hasna harus berprangai seperti itu agar jalinan ceritanya works pada cerita kebetulan yang maha dahsyat ketika Risna melihat Ancha dengan Hasna yang asik glendotan di sebuah acara musik yang "tanpa sengaja" dihadiri mereka berdua.

    Dari sisi tekhnis, sinematografi film ini sangat-sangat bagus. Film ini berhasil memotret Makassar secara utuh mulai dari kehidupan sub-urban dengan banyaknya lorong kecil dan rumah yang saling silang sengkarut sampai wajah Urban hedonis Makassar dengan banyaknya kafe yang menjadi latar dalam cerita dan kalau kita jeli hampir tidak ada kafe yang sama dan berulang selalu berbeda di setiap scenenya. Dari sisi akting yah saya tidak berharap banyak memang dari sisi tekhnis yang satu ini dan bodoh jika saya mengharapakan ada akting sekaliber Reza atau Vino di sini tapi justru sisi ini yang membuat saya agak sedikit gerah kecuali akting Tumming dan abu pastinya. Kalau mau jujur yang menyelamatkan film ini ya mereka berdua, saya beberapa kali dengan ikhlas tertawa karena kekonyolan mereka. Duo ini seakan bermain tanpa cela tanpa mereka film ini akan bapuk sebapuk bapuknya. Akting para pemeran selain duo Tumming dan Abu bagai saya menonton pertunjukkan drama Porseni sekolah kaku tanpa ada emosi di dalamnya apalagi ketika bapak farhan (yang botak) saya lupa namanya muncul, kekakuan makin menjadi-jadi setiap dia berbicara serasa bukan sedang berdialog tapi mendeklamasikan sebuah puisi atau kalau kalian masih ingat gesture-gesture fragment di TVRI diakhir 90-an lalu persis apa yang dibawakan oleh bapaknya Farhan yang saya lupa namanya itu.

    Yah well, mungkin hal-hal diatas bisa kita tepikan dan maafkan tapi ekspektasi yang saya pasang tinggi dengan film ini sebenarnya tentang Uang Panaik itu sendiri. Melihat tema itu yang diangkat saya sedari awal berpikiran film ini datang untuk mempertanyakan itu atau sebagai oto-kritik terhadap budaya yang terlanjur melekat terhadap suku Bugis/Makassar tapi kenyataanya sang Sutradara ataupun mungkin penulis naskahnya terlihat ragu-ragu dan terasa bermain aman dalam membicarakan budaya Uang Panaik itu. Ada keengganan ada perasaan malu-malu mengkritik terlalu dalam budaya ini yang mungkin menjadi salah satu tujuan dibuatnya film ini. terlepas dari itu saya angkat topi kepada orang-orang yang terlibat yang bekerja di dalam produksi film ini seakan mereka berkata industri ini tidak perlu datang dari Jakarta.