Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Jumat, 20 Maret 2015

Sastra: Antara menjadi Mahasiswa, Mace Indah dan Kansas

By: Unknown On: Jumat, Maret 20, 2015
  • Share The Gag
  • "Selamat datang di rumah kebudayaan”!. Hari pertama menjejakkan mimpi dan angan di fakultas Sastra Unhas kalimat itu sempat membuat saya terkesiap sekaligus membuat saya merinding, sungguh!. Spanduk panjang tanpa sentuhan Corel draw ataupun Photoshop itu terpampang sepanjang koridor menjadikannya bentuk sempurna dari gapura penyambutan.

    Saya kuliah di fakultas Sastra Unhas dari tahun 2005 dan berhasil mental di 2011. Untunglah bisa keluar ketika semester masih dikisaran 12 karena predikat legenda tak jadi disematkan kepada saya.  Berbahagialah kata salah satu teman karena saya masih di level Sesepuh. Sama saja Anjirrr!. Terlalu banyak keriaan dan kesedihan yang bisa saya ceritakan ketika masih menjadi warganya sampai mungkin media ini tak mampu menampung. Menjadi anak Sastra ketika dunia memimpikan menjadi Arsitek atau membuka praktek Dokter umum menjadikan pilihan saya terlihat aneh  yang kadang orang  tak mengerti  dan saya pun begitu. Sempat merasa salah tempat namun akhirnya sadar untuk meneruskan dan mau tak mau menikmati.

    Euphoria Pesta,buku, dan cinta saya rasakan betul selama di sana. Saya ada ditahun-tahun di mana semuanya mulai beralih dan berubah. Mulai ditiadakannya Ospek yang katanya menjadi momok dan kemunculan flash disk yang saat itu menjadi kebanggaan ketika mengalungkannya di leher setelah sekian lama cuma mengenal disket. Saat dimana wifi belum semarak dan hanya bisa didapatkan diperpustakaan-kita belum bisa menggalau lewat Facebook maupun twiter. Saat dimana ketika berangkat dan pulang kuliah alunan suara  Ariel dan Ian kasela setia menemani dari radio butut daeng si empunya pete-pete (angkot). Romantisme mahasiswa ketika berjaya menurunkan Suharto 98 lalu masih terasa dan makin menjadi ketika film Soe hok Gie keluar di bioskop. Gegara film itu semua orang ingin terlihat menjadi Gie yang saya kira kala itu sejenis batu Giok.  Orang-orang lalu lalang dengan menenteng buku yang tebal nya ampuh untuk mengusir begal “Catatan Seorang Demonstran” dengan gambar water mark Nicholas Saputra nyempil di sampulnya. Yes, akhirnya ada seorang China yang mengajarkan kita lebih dalam tentang nasionalisme ketika sekian lama cuma dijadikan ceng-cengan rasial dengan celetukan “Siapa yang jaga toko?” ketika ada teman yang bermata sipit. Perempuan Sastra pun begitu, masih terlihat “macho” karena belum ada celana yang membuat cewe’-cewe’ itu susah untuk buang air besar. Semua highlights itu membuat saya terkekeh dan merindu. What a wonderfull!

    Oh iya saya lupa memberitahu, saya kuliah di jurusan Sastra Inggris (Sasing). Mungkin ada yang tak setuju, namun saya merasa jurusan saya ini menjadi main core nya Satra Unhas. Berbicara Sastra Unhas ya harus berbicara Sastra Inggris. Dengan sumber daya yang meruah tak pelak mahasiswa Sastra Inggris menjadi faktor dominan. Tanpa menafikan jurusan lain yang ada di Sastra ya, mari kita jujur-jujuran Sastra Inggris mau tak mau menjadi kawah Chandradimuka-nya wece-wece (cewek-cewek) unyu di Sastra, iya kan?. Berbicara cinta dalam trilogi Pesta,buku, dan cinta kiblatnya  ya anak-anak Sasing. Tak perlu cakep-cakep amat yang penting anak Sasing pasti anda dilirik, apalagi yang wajahnya segaris dengan Chelsea Islan atau Maudi Ayunda..begh tak usah ditanya. Mereka menjadi madu dari banyaknya lebah. Tak saja untuk wece-wece, kami para pria-pria Sasing tak lantas Insecure karena banyaknya saingan dan tingginya demand. Tak mampu bermain (tidak laku) di internal Sasing masih banyak bunga di luaran sana yang menunggu,sadaap. Kembali lagi ke teorinya tak perlu cakep-cakep amat yang penting anak Sasing. Untuk teman-teman di Sejarah, Arkeologi,Sastra Daerah, Perancis, Indonesia, Arab dan Jepang akuilah bahwa faktanya memang seperti itu.heheheh..piss.

    Sorry kalau ada yang tersinggung dan tak setuju dengan pendapat saya di atas. Tak ada maksud untuk berusaha menciptakan kelas apalagi ke-eksklusif-an, ini murni subjektifitas saya, percayalah  semuanya akan berakhir dan bermuara di mace Indah atau mace Muli'. Mace-mace menjadi panggilan akrab kita untuk sang peri sekaligus dewi penolong ketika masa-masa cekak karena kiriman uang orang tua kian menipis di akhir bulan. Ibu-ibu yang hidup dari jualan Indomie,kopi dan gorengan ini menjadi thesis mahasiswa Sastra yang tumbuh dan mulai mencari jatidiri dengan membaca Marx ataupun Nitze. Diskusi lepas selalu dimulai dari depan lapak yang jauh dari kata mewah. Dengan beberapa bangku panjang sedari pagi telah dijejali pantat-pantat yang teriak bahwa Agama itu Candu sampai Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburahman el Shirasy. Tak ada sekat jurusan dan angkatan tak ada sekat kaya ataupun miskin biarpun orang-orang bilang mace-mace itu untuk segmen mahasiswa seperti saya, mahasiswa yang ekonominya ada di level  menengah ke bawah…entahlah. Mace-mace juga bisa menjadi tempat mencari sparing partner gea (berdebat) setelah semalam tadi mengisi kepala dengan buku-buku Sastra dan pergerakan biarpun cuma sampai di halaman kata pengantar. Semuanya menjadi sah di arena yang  tak sengaja diciptakan para mace-mace itu.

    Kharisma mace-mace sedikit memudar ketika Kantin Sastra a.k.a Kansas eksis kembali. Kantin yang pernah dipakai pak Bondan syuting untuk bilang maknyus ini perlahan mengambil hati. Coto Makassar, Ayam penyet, Sop Saudara sampai kopi Dg Sija menjadi hiasannya. Siapa yang tak tergoda setelah sekian lama cuma mengecap makanan itu dari kuah Indomie saja. Kantin yang awalnya hanya diisi oleh mahasiswa sastra sendiri perlahan terkena Invasi dari anak-anak tetangga. Kansas berada di Sosial Peninsula begitu saya menyebutnya. Karena letaknya di tengah FIS (Fakultas Ilmu Sosial) mengakibatkan anak Sastra tak lagi menjadi penguasa sendiri ketika anak Ekonomi dan Hukum mulai mengambil alih. Tak heran ketika dulu di jeda waktu kuliah yang bertepatan dengan jam makan siang kita tak perlu antri dan leluasa mendapatkan meja. Namun lamat-lamat sudah seperti restoran bintang 5 yang mengharuskan reservasi dulu sebelum mendapatkan tempat saking ramai dan padatnya. Lebay?iya,heheu. Setelah invasi terjadi motivasi untuk makan di Kansas menjadi bias. Bukan lagi makan karena lapar semata tapi ada agenda yang lebih besar dari itu apa lagi kalau bukan memanjakan mata melihat wece-wece super ucul anak-anak Ekonomi dan Hukum. Sudah menjadi stereotype hampir di semua kampus di Indonesia bahwa mereka memiliki “bunga-bunga” di atas rata-rata. Perut terisi mata pun tercuci, sebuah perpaduan yang lengkap. Buat saya yang pas-pasan Kansas hanya untuk minggu pertama di awal bulan ketika dompet masih menyembulkan Sukarno dan Gusti Ngurah Rai. Ketika telah berteman dengan sang Penenun songket dan Pattimura saya tau harus kembali kepangkuan siapa.

    Hmmm….Dua tempat yang punya ceritanya masing-masing seperti antara Anyer dan Jakarta-nya Sheila Madjid begitu juga antara Mace Indah dan Kansas memiliki nada yang sama.  Maka Wawan bersabda “Orang-orang yang merugi di Sastra adalah ketika mereka tak mendapatkan cerita dari keduanya”.heheu

    NB: foto tulisan ini saya cuma comot langsung dari google, maaf untuk yang punya foto di atas saya pakai sebagai header tulisan saya. terima kasih sebelumnya.



    Kamis, 05 Maret 2015

    Bulutangkis yang Senyap

    By: Unknown On: Kamis, Maret 05, 2015
  • Share The Gag
  • Mencoba konsisten hari ini saya menulis lagi. sejak saya membuat blog ini saya sudah berikrar kalau setiap bulan blog ini harus saya beri makan. Tak peduli ada yang membacanya atau tidak. Tak heran karena "ketidak pedulian" sampai hari ini kunjungannya cuma dikisaran 3.000-an, kasihan. Tak apalah, terima kasih untuk teman-teman atau sesiapa yang telah sudi mampir ke blog ane ini, sekali lagi terima kasih. 

    Maret seperti biasa saya selalu menyisipkan doa di dalamnya karena kebetulan saya lahir di bulan ini. Tak ada yang istimewa kecuali notifikasi Facebook dan Twiter yang terus berbunyi karena basa basi ucapan selamat. Saya juga berterima kasih untuk itu. loh..loh.. kenapa saya curhat yes padahal saya mau menulis tentang bulu tangkis. Maaf pemirsa.

    Biarpun sepak bola sudah menjadi seperti agama bagi saya namun selalu ada tempat buat bulutangkis di hati saya. Seperti kebanyakan orang Indo lainnya, Bulutangkis sudah menjadi bagian dari irama kehidupan kita layaknya sepak bola bagi bangsa Brazil. Sedari kecil kita sudah akrab dengan suara Sambas menyuruh kita berdoa dari rumah untuk mendoakan tim Thomas dan Uber kita ataupun komentar populernya dengan "ragu-ragu Icuk" merujuk kepada Icuk Sugiarto salah satu dari banyaknya juara dunia yang kita milki ketika sedang bertanding di TVRI dulu. Kita pernah ikut menangis haru ketika Susi dan Alan meraih medali emas pertama sepanjang sejarah keikut sertaan kita di Olimpiade. kita pernah begitu bangganya di saat Hendrawan dengan sangat heroik menjadi penentu kemenangan tim Thomas kita atas Malaysia untuk kembali menjadi juara dunia untuk kali kelima berturut-turut. 

    Emas Olimpiade dan juara dunia. Tak ada olahraga selain bulutangkis yang bisa sepongah itu. Namun perlahan tapi pasti olahraga kebanggaan kita ini mulai pudar dan terlupakan. Generasi sekarang mungkin mentok pada nama Taufik Hidayat setelah itu hampir tak ada yang membicarakan bulutangkis lagi. Cara paling mudah melihat bagaimana olahraga tepok bulu ini tak lagi membuat kita hirau adalah lewat sosial media. Di Asian games lalu kita merebut dua emas namun TimeLine Twiter saya adem ayem kecuali akun-akun bulutangkis dan wartwawan olahraga yang saya follow saja yang ramai selain itu, nol. Beda dengan ketika akhir pekan tiba timeline penuh sesak dengan Twitwar fans klub sepakbola luar negri. miris? saya bilang iya

    Banyak yang bilang prestasi kita menurun. Mungkin ada benarnya kalau membandingkannya dengan masa lalu. Namun mari kita berpikir lagi semenurun-menurunnya kita di olahraga ini level kita masih tetap sama, tetap di level dunia. Tontowi/Lilyana jadi juara dunia bersama Hendra dan Ahsan 2013 lalu,catat juara dunia. Gelaran Thomas cup 2014 lalu yang notabene sebagai Piala Dunianya bulutangkis disektor putra, kita jadi unggulan pertama. Selayaknya piala dunia sepak bola kita ini seperti Spanyol yang disetiap kejuaran yang diikutinya selalu menjadi unggulan. Kita punya gelaran prestisius setiap tahun lewat Indonesia open dengan level SuperSeries Premier yang jika di Tennis setara dengan turnamen level Grand Slam. Dari 12 gelaran Super Series setiap tahunnya cuma ada 5 gelaran yang berlevel Super Series Premier dan Indonesia adalah salah satunya. Itu artinya kita masih menjadi negara dengan kekuatan bulutangkis yang diperhitungkan di dunia. 

    Salah dua yang menyebabkan kita tak lagi menengok olahraga ini mungkin karena jarang malah tak pernah lagi ada kejuaran yang dicover media kita. Stasiun-stasiun televisi kita tak ada lagi yang punya niatan untuk menyiarkan bulutangkis. Trans 7 mungkin beberapa tahun ini menyiarakan Indonesia Open karena dilaksanakan di Indonesia namun kejuaraan lainnya, jangan ditanya. Televisi kita lebih rela mengeluarkan ratusan milyar untuk membeli hak siar liga-liga sepak bola luar dibanding membeli hak siar bulutangkis yang saya yakin jauh lebih murah. oke-oke pasti mereka berpikir tentang keuntungan dan lain-lain dari menyiarkan sepak bola dibanding bulutangkis. Tapi saya masih tetap yakin apa-apa yang menyangkut Indonesia pasti tetap akan menjadi perhatian, coba deh. RCTI mendapatkan keuntungan paling tinggi ketika menyiarkan AFF 2010 lalu. jumlah penonton yang menyaksikan AFF 2010 lalu jauh lebih banyak di bandingkan Piala dunia 2006 untuk ukuran pemirsa televisi di Indonesia. Malah AnTV dan TvOne tekor dan tak balik modal ketika membeli lisensi siaran piala dunia Brazil 2014 lalu. Ada yang bilang itukan sepak bola jadi wajar AFF Cup banyak yang nonton. Ok, saya berikan satu fakta. Indonesia Open yang ditayangkan Trans 7 setiap tahun mendapatkan rating nomor satu disetiap jam penayangannya. Trans 7 selalu untung makanya selalu membeli dan menayangkannya setiap tahun.see!

    Masih soal siar mensiarkan, sepak bola sudah kita mahfum lah karena skala penggemarnya yang sangat besar menjadi pertimbangan televisi untuk menyiarkan. Sepak bola yang statis cuma sepanjang 90 menit mudah pengaturannya dengan acara-acara lain dibanding bulutangkis yang satu match saja bisa 60 menit dimana bulutangkis punya 5 kelas. jadi mungkin menjadi pemikiran stasiun tv kenapa tidak menayangkan bulutangkis karena waktunya yang tak menentu. Pada kasus lain usut punya usut ternyata PBSI bayar kepada TVRI untuk 3 jam penayangan Sirkuit Nasional (Sirnas) bulutangkis. Ironis sangat ironis, RCTI membeli hak siar Arsenal vs Indonesia ketika kita dibantai 7-0 lalu sebesar 200 M namun untuk melihat tontonan bulutangkis PBSI harus bayar kepihak Tv untuk sudi menyiarkan. Hmmm,Untuk olahraga yang berprestasi kita harus membayar dulu untuk menontonnya namun olahraga yang kisruhnya lebih banyak dari prestasinya orang berbondong membelinya. Di situ kadang saya merasa wakwaw!!!

    Saya mengerti tulisan dan nyinyiran saya ini tak akan merubah apa-apa. Sebagai pecinta bulutangkis tak usah manja. tak usah menghalangi orang yang lagi cari rejeki, mungkin dengan menyiarkan sepakbola mereka bisa makan. alhamduliilah saya punya rejeki bisa pasang Cable dirumah jadi bisa menonton hampir semua kejuaraaan bulutangkis dunia lewat tv berbayar. Mudah-mudahan kelak bulutangkis kembali menjadi tuan rumah "di negrinya" sendiri. Amin