Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Kamis, 05 Maret 2015

Tagged Under:

Bulutangkis yang Senyap

By: Unknown On: Kamis, Maret 05, 2015
  • Share The Gag
  • Mencoba konsisten hari ini saya menulis lagi. sejak saya membuat blog ini saya sudah berikrar kalau setiap bulan blog ini harus saya beri makan. Tak peduli ada yang membacanya atau tidak. Tak heran karena "ketidak pedulian" sampai hari ini kunjungannya cuma dikisaran 3.000-an, kasihan. Tak apalah, terima kasih untuk teman-teman atau sesiapa yang telah sudi mampir ke blog ane ini, sekali lagi terima kasih. 

    Maret seperti biasa saya selalu menyisipkan doa di dalamnya karena kebetulan saya lahir di bulan ini. Tak ada yang istimewa kecuali notifikasi Facebook dan Twiter yang terus berbunyi karena basa basi ucapan selamat. Saya juga berterima kasih untuk itu. loh..loh.. kenapa saya curhat yes padahal saya mau menulis tentang bulu tangkis. Maaf pemirsa.

    Biarpun sepak bola sudah menjadi seperti agama bagi saya namun selalu ada tempat buat bulutangkis di hati saya. Seperti kebanyakan orang Indo lainnya, Bulutangkis sudah menjadi bagian dari irama kehidupan kita layaknya sepak bola bagi bangsa Brazil. Sedari kecil kita sudah akrab dengan suara Sambas menyuruh kita berdoa dari rumah untuk mendoakan tim Thomas dan Uber kita ataupun komentar populernya dengan "ragu-ragu Icuk" merujuk kepada Icuk Sugiarto salah satu dari banyaknya juara dunia yang kita milki ketika sedang bertanding di TVRI dulu. Kita pernah ikut menangis haru ketika Susi dan Alan meraih medali emas pertama sepanjang sejarah keikut sertaan kita di Olimpiade. kita pernah begitu bangganya di saat Hendrawan dengan sangat heroik menjadi penentu kemenangan tim Thomas kita atas Malaysia untuk kembali menjadi juara dunia untuk kali kelima berturut-turut. 

    Emas Olimpiade dan juara dunia. Tak ada olahraga selain bulutangkis yang bisa sepongah itu. Namun perlahan tapi pasti olahraga kebanggaan kita ini mulai pudar dan terlupakan. Generasi sekarang mungkin mentok pada nama Taufik Hidayat setelah itu hampir tak ada yang membicarakan bulutangkis lagi. Cara paling mudah melihat bagaimana olahraga tepok bulu ini tak lagi membuat kita hirau adalah lewat sosial media. Di Asian games lalu kita merebut dua emas namun TimeLine Twiter saya adem ayem kecuali akun-akun bulutangkis dan wartwawan olahraga yang saya follow saja yang ramai selain itu, nol. Beda dengan ketika akhir pekan tiba timeline penuh sesak dengan Twitwar fans klub sepakbola luar negri. miris? saya bilang iya

    Banyak yang bilang prestasi kita menurun. Mungkin ada benarnya kalau membandingkannya dengan masa lalu. Namun mari kita berpikir lagi semenurun-menurunnya kita di olahraga ini level kita masih tetap sama, tetap di level dunia. Tontowi/Lilyana jadi juara dunia bersama Hendra dan Ahsan 2013 lalu,catat juara dunia. Gelaran Thomas cup 2014 lalu yang notabene sebagai Piala Dunianya bulutangkis disektor putra, kita jadi unggulan pertama. Selayaknya piala dunia sepak bola kita ini seperti Spanyol yang disetiap kejuaran yang diikutinya selalu menjadi unggulan. Kita punya gelaran prestisius setiap tahun lewat Indonesia open dengan level SuperSeries Premier yang jika di Tennis setara dengan turnamen level Grand Slam. Dari 12 gelaran Super Series setiap tahunnya cuma ada 5 gelaran yang berlevel Super Series Premier dan Indonesia adalah salah satunya. Itu artinya kita masih menjadi negara dengan kekuatan bulutangkis yang diperhitungkan di dunia. 

    Salah dua yang menyebabkan kita tak lagi menengok olahraga ini mungkin karena jarang malah tak pernah lagi ada kejuaran yang dicover media kita. Stasiun-stasiun televisi kita tak ada lagi yang punya niatan untuk menyiarkan bulutangkis. Trans 7 mungkin beberapa tahun ini menyiarakan Indonesia Open karena dilaksanakan di Indonesia namun kejuaraan lainnya, jangan ditanya. Televisi kita lebih rela mengeluarkan ratusan milyar untuk membeli hak siar liga-liga sepak bola luar dibanding membeli hak siar bulutangkis yang saya yakin jauh lebih murah. oke-oke pasti mereka berpikir tentang keuntungan dan lain-lain dari menyiarkan sepak bola dibanding bulutangkis. Tapi saya masih tetap yakin apa-apa yang menyangkut Indonesia pasti tetap akan menjadi perhatian, coba deh. RCTI mendapatkan keuntungan paling tinggi ketika menyiarkan AFF 2010 lalu. jumlah penonton yang menyaksikan AFF 2010 lalu jauh lebih banyak di bandingkan Piala dunia 2006 untuk ukuran pemirsa televisi di Indonesia. Malah AnTV dan TvOne tekor dan tak balik modal ketika membeli lisensi siaran piala dunia Brazil 2014 lalu. Ada yang bilang itukan sepak bola jadi wajar AFF Cup banyak yang nonton. Ok, saya berikan satu fakta. Indonesia Open yang ditayangkan Trans 7 setiap tahun mendapatkan rating nomor satu disetiap jam penayangannya. Trans 7 selalu untung makanya selalu membeli dan menayangkannya setiap tahun.see!

    Masih soal siar mensiarkan, sepak bola sudah kita mahfum lah karena skala penggemarnya yang sangat besar menjadi pertimbangan televisi untuk menyiarkan. Sepak bola yang statis cuma sepanjang 90 menit mudah pengaturannya dengan acara-acara lain dibanding bulutangkis yang satu match saja bisa 60 menit dimana bulutangkis punya 5 kelas. jadi mungkin menjadi pemikiran stasiun tv kenapa tidak menayangkan bulutangkis karena waktunya yang tak menentu. Pada kasus lain usut punya usut ternyata PBSI bayar kepada TVRI untuk 3 jam penayangan Sirkuit Nasional (Sirnas) bulutangkis. Ironis sangat ironis, RCTI membeli hak siar Arsenal vs Indonesia ketika kita dibantai 7-0 lalu sebesar 200 M namun untuk melihat tontonan bulutangkis PBSI harus bayar kepihak Tv untuk sudi menyiarkan. Hmmm,Untuk olahraga yang berprestasi kita harus membayar dulu untuk menontonnya namun olahraga yang kisruhnya lebih banyak dari prestasinya orang berbondong membelinya. Di situ kadang saya merasa wakwaw!!!

    Saya mengerti tulisan dan nyinyiran saya ini tak akan merubah apa-apa. Sebagai pecinta bulutangkis tak usah manja. tak usah menghalangi orang yang lagi cari rejeki, mungkin dengan menyiarkan sepakbola mereka bisa makan. alhamduliilah saya punya rejeki bisa pasang Cable dirumah jadi bisa menonton hampir semua kejuaraaan bulutangkis dunia lewat tv berbayar. Mudah-mudahan kelak bulutangkis kembali menjadi tuan rumah "di negrinya" sendiri. Amin





    0 komentar:

    Posting Komentar