Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Jumat, 28 November 2014

PSSI Kapan Waras????

By: Unknown On: Jumat, November 28, 2014
  • Share The Gag

  • Usai sudah AFF tahun ini, usai tanpa pesta dan tangis haru bahagia, usai yang membuat kelu lidah untuk berbicara, usai yang sudah kita hafal alurnya. Lagi-lagi kita gagal beruntun, untuk semifinal saja kita tak mampu.  Sejak awal turnamen ini digelar 1996 lalu,  saya tidak pernah membayangkan sampai tahun ini sebiji gelarpun tak pernah bisa kita bawa pulang. Setiap kita gagal selalu ada nada optimisme bahwa kita akan rebut juara itu dua tahun lagi, ketika gagal lagi nada yang senada muncul lagi, dan kini kembali  gagal dan nada itu tetap ada tapi mulai terasa sumbang. Terlalu lama kita menunggu hanya untuk sekedar juara Asia Tenggara sedangkan masih banyak orang berteriak kita adalah Macan Asia. 

    Entahlah siapa yang menyebut itu pertama kali dan sampai ketelinga saya. Kita ini Macan Asia, juara Asia Tenggara saja kita tak pernah, kita ini Macan Asia, juara piala Asia saja kita tak pernah tak usah juara, lolos dari babak grup saja kita tak mampu, kita ini Macan Asia namun tak sekalipun lolos Piala Dunia, kita ini Macan Asia namun dari Negara kemarin sore pun kita kalah. Terus Macan Asianya di mana?? Ah sudahlah mungkin itu cuma mitos.

    Banyak yang terbuai sampai ke awan akan mitos itu dan lupa turun ke bumi menginjak kerasnya tanah bahwa kita tak punya apa-apa. Gempita GBK ketika timnas bermain cuma terasa di tribun-tribun dan ruang-ruang keluarga karena di atas lapangan kita ternyata masih tergagap. Mengikrarkan diri bahwa kita adalah Negara sepak bola kedengaran pongah karena kita nyatanya cuma Negri (penonton) sepak bola.   Juventus, Liverpool, Arsenal dan sejumput tim-tim lain berlomba datang hanya untuk sekedar mengambil uang kita sembari selalu berkata Negara ini punya potensi besar untuk maju namun di saat yang bersamaan letak Indonesia pun baru mereka tau ketika ia datang ke sini. Dan kita pun terkekeh bangga seakan itu benar namun ternyata cuma kata-kata basi pesanan sponsor.

    Sudahlah kita bernostalgia dengan mitos Macan Asia, sudahlah kita bernostalgia bahwa kita pernah menahan imbang Uni Soviet berpuluh tahun lalu, sudahlah kita dengan segala nina bobo tim-tim yang nyatanya cuma cari duit dari kita. Sudahi semua dan mari kita mulai lagi dari awal, mari menyeduh kopi sambil duduk bersila membicarakan kita dan apa yang mesti dilakukan. Lupakan semua sakit kegagalan yang ternyata tak mampu mendewasakan. Mengingat pepatah “mundur selangkah untuk maju 1000 langkah” taka apa jadi pegangan. Biarlah kita terpuruk sekarang supaya lusa nanti kita bisa jadi  pemenang Itupun dengan syarat kita tau kesalahan dan mau berubah.

    Kalau kita tak mau berubah tak tau apalagi yang mesti dilakukan. Tegakah kita akan terus melihat pemandangan yang melankolis seperti kemarin. Tahu tim kita tak akan lolos namun saudara sebangsa kita tetap datang ke stadion dengan atribut maksimal dengan bendera merah putih melingkar di dahi dan di lengan, berteriak sepanjang pertandingan bahwa Garuda ada di dada. Tegakah kita menghianati mereka, dengan uang pribadi rela datang hanya ingin melihat pahlawan mereka bermain yang tak lagi memliki harapan. ''Kejadian'' di tribun stadion Hang Day kemarin membuat saya terharu sangat haru. Benarlah kata Pangeran Siahaan bahwa penonton sepak bola kita adalah sekawanan manusia Irasional. Biarlah kami terus menjadi orang yang tak rasional dan waras karena kewarasan akan membunuh kami. Teruntuk bapak-bapak di PSSI kapan WARAS’E (waras)??????


    Rabu, 26 November 2014

    Jadi Siapa yang Salah?

    By: Unknown On: Rabu, November 26, 2014
  • Share The Gag

  • Pertandingan kemarin agak susah kita cerna dengan akal sehat, Philipina yang sepuluh tahun lalu cuma penggembira kini bisa mengalahkan kita, bukan 1 gol namun kita diberondong 4 gol tanpa kita mampu membalas. Yang menyakitkan dari kekalahan itu adalah permainan kita yang di bawah standar dengan hiasan Backpass yang salah berujung penalti, backpass yang ditangkap kiper seakan-akan peraturan itu belum diajarkan,dan satu kartu merah. Sampai sampai Pundit Fox Sport mengatakan bahwa permainan kita layaknya anak sekolah dengan lini belakang seperti kriminal, saya tidak tau maksudnya kenapa lini belakang kita dianggap penjahat.

    Banyak yang berteriak bahwa yang salah adalah Riedl. Dalam “hukum” sepak bola menjadi pelatih artinya harus menjadi pesakitan dan yang terhina dari sebuah kegagalan. Riedl terlihat sangat paham akan hal itu sehingga sesaat setelah pertandingan Riedl tanpa ba bi bu langsung berbicara “saya akan meninggalkan Indonesia, maaf saya tidak bisa membawa Indonesia Juara. Saya yang mengambil tanggung jawab tentang ini semua kalau ada yang anda salahkan, salahkanlah saya”. biarpun masih ada pertandingan terakhir tampaknya Riedl kadung pesimis tentang peluang timnya. Tentang apakah 100% dari kegagalan ini karena faktor Riedl semata? saya kira kurang adil jika kita menumpahkan semuanya kepada pria Austria itu.

    Saya masih selalu yakin kegagalan terus menerus timnas kita karena salah urus PSSI. Sepanjang tahun ini Riedl sudah berteriak bahwa porsi waktu untuk timnas sangat sedikit. Kompetisi panjang 11 bulan dimana berakhir 10 hari sebelum AFF Cup digelar, tidakkah ini konyol. apa cukup buat Riedl membangun ke-kimian antar pemain dengan waktu sesempit itu? Apakah pemain masih punya tenaga setelah terkuras habis di liga yang maha panjang itu?. Banyak yang bilang ini masalah klasik di negri ini tinggal pintar-pintarnya Riedl saja menyiasatinya tapi mbo ya jangan 10 hari juga lah. AFF Cup itu Piala Dunia nya kita, di situlah level kita yang sesungguhnya dimana di setiap penyelenggaraan kita selalu menjadi salah satu unggulan. Kalau kita terus-terusan keok di ajang ini, lalu di level mana lagi yang bisa membuat kita terus berharap. Liga-liga di Eropa dengan segala kemajuan sepak bolanya memberikan tenggat waktu 2 bulan dari berakhirnya kompetisi menuju gelaran turnamen yang akan diikuti timnasnya, apakah kita sudah lebih baik dari Eropa???

    Jika kita memperhatikan, sebenarnya Riedl belum mendapatkan formasi yang baku & pemain inti untuk skuadnya sampai dimulainya turnamen. Pemain baru lengkap ketika ujicoba terakhir melawan Suriah setelah yang terakhir bergabung pemain dari Persib dan Persipura,harus diingat pertandingan melawan Suriah seminggu sebelum AFF. Itu terlihat dari gamangnya Riedl menentukan formasi ketika begitu yakinnya dia dengan formasi 4-2-3-1 melawan Vietnam lalu dipertandingan kedua dia mengubahnya menjadi 4-4-2. Lini tengah yang amburadul karena belum sepahamnya para pemain entah taktik maupun strategi. Kemampuan Boaz gagal dieksploitasi karena kikuknya dia dengn Van Dijk. Masalah fisik sangat jelas terlihat, terkurasnya pemain di liga membuat langkah pemain sangat berat karena yang tersisa tinggal ampasnya. Harusnya itu semua sudah teratasi sebelum turnamen namun apa daya sempitnya waktu membuat Riedl akhirnya hanya mampu meraba selama pertandingan berlangsung.

    Yang patut dicermati di setiap sesi wawancara dengan wartawan, Riedl selalu mencoba untuk tidak frontal terhadap PSSI mengenai keluhannya itu bahkan malah cenderung membela PSSI. Sampai-sampai  entah keceplosan atau tidak dia menyebut La Nyalla (Waketum PSSI) dengan “Mr President”. Sikap yang ditunjukkan itu menjadi menarik karena Riedl terlihat sangat melindungi PSSI, dia mengesankan bahwa tak ada yang salah dengan PSSI namun dari beberapa kesempatan, secara tersirat dia merasa tak diberi ruang. Memang banyak menimbulkan pertanyaan kenapa Riedl bisa sangat feminim kepada Johar dkk yang membuat kita makin selalu curiga bahwa peristiwa jual beli pertandingan final AFF cup antara Indonesia & Malaysia empat tahun lalu memang benar adanya dimana salah satu aktornya adalah Riedl. Tapi sudahlah mudah-mudahan itu hanya gossip yang tak pernah ada.

    Kalau saya mau menyalahkan Riedl, saya akan salahkan kenapa dia masih percaya membawa beberapa pemainnya yang di AFF 2010 lalu ke tim ini sekarang, yang notabene di liga pun mereka sudah mulai usang. Membawa pemain usang ketika beberapa pemain di timnas U-23 Asian games lalu dan timnas U-19 pantas naik kelas ke level senior guna menggantikan Ridwan, Zulkifli, Robby, dan Firman yang terlihat jelas sudah kepayahan.

    Sabtu, 15 November 2014

    Edelweis Dalam Perspektif

    By: Unknown On: Sabtu, November 15, 2014
  • Share The Gag


  • Edelweis diatas merujuk UKM PA Edelweis, organisasi kepencinta alaman Sastra Unhas tempat saya menghabiskan banyak waktu ketika masih kuliah dulu. Tidak ada yang istimewa dari organisasi ini namun uniknya selama  di sana saya selalu merasakan dan  menangkap keresahan teman-teman untuk mencari dan menetapkan jenis “kelamin” dari organisasi ini. Jelaslah Memang, Edelweis awal dibangun dari kesamaan hobi anggotanya yang gandrung akan kegiatan di luar ruang (Outdoor) tapi makin kesini ketika dunia juga makin berkembang hal itu mungkin sudah dirasa kurang.  Seperti manusia yang jumlahnya milliaran, yang membedakan adalah sifat dan karakternya. Atas dasar pemikiran itu Edelweis sebagai bagian dari banyaknya organisasi serupa di Indonesia mencoba membuat,menggali,dan menemukan karakternya sendiri dan mencoba tidak berpikir “yang penting beda” (Mudah mudahan).

    Setiap kelompok ataupun komunitas tertentu kebanyakan terbagi dalam dua pandangan, yang pertama kelompok Fundamental   Konservatif dan yang kedua kelompok yang berpandangan progresif (Pembaharu).   Tidak ada yang lebih buruk atau lebih baik dari keduanya, namun pertama kali saya ada di organisasi ini kaum progresifnya mendominasi.  Pemikiran bahwa untuk apa terpisah jika toh apa yang dilakukan sama, melahirkan ide bahwa UKM PA (Unit Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam) harus punya identitas sendiri sesuai dengan dasar keilmuan masing-masing mengingat Organisasi sejenis ada ditingkatan Universitas dan bertebaran ditingkatan fakultas dan jurusan.

    Keberadaan Edelweis di fakultas Sastra (pernah sesaat menjadi fakultas Ilmu Budaya) menjadi berkah dan keuntungan tersendiri karena bagaimanapun kegiatan diluar ruang tidak akan jauh-jauh dari soalan sosial maupun budaya, ditambah lagi saya kutip dari Arman Dhani aktivis di sosial media mengatakan bahwa kekuatan utama mahasiswa Makassar adalah tradisi intelektualitas  dan kesusastraannya yang luar biasa. Klop, dengan Kedua keuntungan itu Edelweis secara gamblang mempromot dirinya menjadi organisasi kepetualangan dan penelitian dengan entah itu jargon, slogan, atau tagline yang sedikit pongah “Bertualang & Meneliti”. Terus terang yang membuat saya bertahan di organisasi ini gegara slogan itu, tidak bermaksud mengatakan jika Edelweis hanya fokus pada kepetualangan menjadi tidak menarik namun ada efek besar yang diberikan.

    Entah ada hubungannya atau tidak jargon itu membuat adanya ritme lain di organisasi ini. Adanya diskusi dan komunikasi yang intens berujung pada dialektika pemikiran menjadi ruang tumbuh kembang anggotanya.  Kampus yang mulai bergeser kearah pragmatis seakan menjadi antitesa jika saya berada di Edelweis. Kenikmatan itu terus berlanjut, budaya Buku,Pesta, dan Cinta begitu terasa murni. Pagi harinya bisa sangat serius  dengan tangan menggenggam Marx, Gie, ataupun legenda Indian Cherokee. Sore harinya tangan-tangan kekar berpesta menjamah replika batu dan tebing, namun dikeheningan malam bisa begitu romantis. Sambil bercanda ria bercerita pengalaman hari ini di depan meja bundar bekas gulungan kabel sembari mendengar Duta Sheila on 7 berkata Jadikanlah aku pacarmu mengalun merdu dari radio tepat diatas tangga, so romantic. “Bertualang & Meneliti” semakin mempertegas tujuan organisasi ini dibuat, tidak hanya fokus pada organisasinya namun pada peningkatan kapasitas setiap anggotanya. Karena bisa dibayangkan jika tujuan organisasi ini dibuat hanya sebatas seberapa banyak gunung yang akan kita daki, seberapa tinggi tebing yang akan kita raih dan seberapa dalam gua yang akan kita susuri, organisasi ini sudah selesai dari kemarin. Karena kesadaran tujuan dan slogan itulah mungkin, Edelweis masih bertahan  sampai sekarang dimana otot seiring berjalan dengan kompleksitas otak.  “Bertualang & Meneliti” membuat Edelweis dan anggotanya saling memberi warna tidak harus selalu merah kuning ataupun biru serta warna warna cerah lainnya yang menyilaukan mata namun kadang hitam selalu datang untuk memperingatkan.  

    Mungkin agak berlebihan memberikan gambaran namun saya yakin hal itu yang mestinya terus berlaku dan terus ada. Berawal dari kebiasaan, melangkah menjadi habit yang akhirnya melahirkan karakter. Saya tidak perlu menjelaskan dan menjabarkan apa itu “Bertualang & Meneliti” karena sudah sangat terang arahnya, Bertualang erat pada Organisasinya sedang meneliti melekat pada individu anggotanya sebagai Mahasiswa.

    Diakhir, organisasi ini sudah begitu nyaman menemukan kelaminnya, tidak lagi menjadi abu-abu, tidak lagi menggalau dan gundah. Kalaulah karena persoalan perubahan zaman membuat slogan itu sudah samar dan tidak ada lagi mudah mudahan bukan karena kita lupa dan abai namun karena kita menemukan jalan yang lain menuju “puncak”.  kalaulah generasi saya maupun generasi sekarang tidak mampu menyempurnakan biarlah karena kita sudah sempurna dalam ketidak sempurnaan.(asekkk..hehehu)

    Salam Leontopodium Alpinum.






    Minggu, 09 November 2014

    PERSIB : Mes Que Un Club (Lebih dari sekedar klub)

    By: Unknown On: Minggu, November 09, 2014
  • Share The Gag

  • Saya bukan orang Bandung pun juga bukan pecinta Persib apalagi Bobotoh (Pendukung dalam bahasa Sunda) Persib atau bergabung dengan Viking (fanbase Persib) namun saya juga ikut larut haru dan senang ketika Persib menjadi juara Indonesia jumat malam lalu 7/11/2014. Lewat pertandingan yang ketat plus drama adu penalti, Persib berhasil membasuh kerongkongan para Bobotoh dari kehausan selama 19 tahun menunggu gelar kedua mereka. 

    Persib adalah klub yang memenuhi semua syarat untuk juara. Finasial yang sehat, kualitas pemain luar biasa, manajemen yang modern, serta basis pendukung yang besar, kalau ada kekurangan Persib mungkin belum punya stadion sendiri.  kenapa saya mendukung Persib juara, bukan karena tidak senang dengan Persipura namun ada yang lebih besar dari itu, kemenangan Persib bagus buat perkembangan liga. Kalau klub-klub lain masih empot-empotan mencari sponsor, menunggak gaji pemain, serta sulitnya membuat infrastruktur manajemen yang professional Persib sudah lulus akan hal itu sejak 5 tahun yang lalu. Perlu diketahui mungkin Persib satu-satunya klub eks perserikatan yang berhasil bertransformasi menjadi klub professional sejauh ini ketika yang lainnya mengaku sudah menjadi klub pro namun membayar gaji pemain saja susah.

    Dibawah tangan H Umuh Muhtar selaku komisaris PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB) yang juga merangkap sebagai manajer, Persib mendapatkan kejayaannya kembali. H Umuh membawa Persib dari klub APBD menjadi non APBD sesuai dengan peraturan mengenai Liga super yang mewajibkan semua klub harus menjadi klub pro sejurus dengan peraturan mentri dalam negri (Permendagri) No 59/2007 yang mengharamkan menggunakan lagi dana APBD untuk menjalankan operasional klub.

    Kemenangan Persib yang diliput media secara simultan dan bahkan ada stasiun televisi yang membuat siaran langsung perayaan juara Persib membuktikan bahwa Persib bukan sekedar klub namun Persib sudah menjadi sebuah brand. Persib bisa menjadi acuan/role model untuk klub-klub yang lain bagaimana mengkapitalisasi fanatisme suporternya. Yang tampak jelas dari Bandung adalah kecintaan yang luar biasa terhadap Persib. Tanpa bermaksud menafikan fanatisme kota lain akan klubnya masing-masing namun bandung punya kekhasan yang lain punya karakter yang lain, sehingga kadang ada anekdot bahwa berbicara bandung itu Cuma 2P Perempuannya (Mojang bandung) dan Persib. 

    Berbicara fanatisme yang lain, Timnas Indonesia jarang menggunakan stadion-stadion di Bandung atau di Jawa barat  untuk menggelar ujicoba atau turnamen karena mudah ditebak animo penonton akan sangat kecil. Kalau memperhatikan tur nusantara jilid II Timnas U-19 lalu ketika stadion kota-kota lain penuh sesak namun ketika di Siliwangi penonton yang hadir hanya sepertiga stadion yang terisi, tanya kenapa?. Ingat kejadian Roy Suryo lupa lirik Indonesia raya ketika mencoba menenangkan bobotoh yang lagi “panas” karena satu stadion dengan the Jak (supporter Persija) di Maguwoharjo? Kalau masih ingat, pak Roy memandu supporter untuk menyanyikan Indonesia raya namun apa yang terjadi para Bobotoh malah menyanyikan Lagu Halo-Halo Bandung. Apakah para Bobotoh tidak nasionalis? Nasionalisme bobotoh untuk Indonesia jangan diragukan namun kalau mereka disuruh memilih pasti mereka memilih Persib. Anda tau Mocca, Kuburan, Pass Band? lihat trak lagu di salah satu albumnya pasti ada lagu tentang kecintaanya terhadap Persib dan mesti diingat album mereka diedarkan secara nasional.

    Coba tengok jersey Persib Musim ini!, Baju yang berwarna dasar biru itu seakan berubah fungsi menjadi Galeri iklan para sponsor. Tidak ada satupun klub yang mempunyai kemampuan menggaet sponsor sebanyak itu di Indonesia. Saking banyaknya sponsor resmi Persib, sampai jersey latihannya pun ada logo sponsornya.Luar biasa.

    Jadi menurut saya ada dua arti penting dari Juaranya Persib untuk sepak bola Indonesia. Yang pertama untuk meningkatkan pemasaran Liga Super Indonesia (ISL) dimana Persib sebagai tauladan (Role Model), yang kedua bagus buat perkembangan Industri Sepak Bola Indonesia ketika klub tidak melulu dipandang secara primitf dan tradisional lagi bahwa hanya representasi sebuah daerah namun lebih dari itu, klub bisa menjadi sebuah merek dagang atau istilah kerennya Brand awareness. kenapa penekanan saya dari tadi ada dipersoalon Brand dan industri agar supaya tidak ada lagi cerita seperti Diego mendieta yang meninggal tak terurus dirumah sakit karena gaji tertunggak atau pemain PSMS medan yang terlunta di trak joging senayan karena gaji yang tertahan. Selamat buat Persib, Persib nu aing biarpun saya orang Makassar. hehehe