Usai sudah AFF tahun ini, usai
tanpa pesta dan tangis haru bahagia, usai yang membuat kelu lidah untuk
berbicara, usai yang sudah kita hafal alurnya. Lagi-lagi kita gagal beruntun, untuk
semifinal saja kita tak mampu. Sejak awal
turnamen ini digelar 1996 lalu, saya
tidak pernah membayangkan sampai tahun ini sebiji gelarpun tak pernah bisa kita
bawa pulang. Setiap kita gagal selalu ada nada optimisme bahwa kita akan rebut
juara itu dua tahun lagi, ketika gagal lagi nada yang senada muncul lagi, dan
kini kembali gagal dan nada itu tetap ada
tapi mulai terasa sumbang. Terlalu lama kita menunggu hanya untuk sekedar juara
Asia Tenggara sedangkan masih banyak orang berteriak kita adalah Macan Asia.
Entahlah
siapa yang menyebut itu pertama kali dan sampai ketelinga saya. Kita ini Macan
Asia, juara Asia Tenggara saja kita tak pernah, kita ini Macan Asia, juara
piala Asia saja kita tak pernah tak usah juara, lolos dari babak grup saja kita
tak mampu, kita ini Macan Asia namun tak sekalipun lolos Piala Dunia, kita ini Macan
Asia namun dari Negara kemarin sore pun kita kalah. Terus Macan Asianya di
mana?? Ah sudahlah mungkin itu cuma mitos.
Banyak yang terbuai sampai ke awan
akan mitos itu dan lupa turun ke bumi menginjak kerasnya tanah bahwa kita tak
punya apa-apa. Gempita GBK ketika timnas bermain cuma terasa di tribun-tribun dan
ruang-ruang keluarga karena di atas lapangan kita ternyata masih tergagap. Mengikrarkan
diri bahwa kita adalah Negara sepak bola kedengaran pongah karena kita nyatanya
cuma Negri (penonton) sepak bola. Juventus, Liverpool, Arsenal dan sejumput tim-tim
lain berlomba datang hanya untuk sekedar mengambil uang kita sembari selalu
berkata Negara ini punya potensi besar untuk maju namun di saat yang bersamaan letak Indonesia pun
baru mereka tau ketika ia datang ke sini. Dan kita pun terkekeh bangga seakan
itu benar namun ternyata cuma kata-kata basi pesanan sponsor.
Sudahlah kita bernostalgia dengan
mitos Macan Asia, sudahlah kita bernostalgia bahwa kita pernah menahan imbang
Uni Soviet berpuluh tahun lalu, sudahlah kita dengan segala nina bobo tim-tim
yang nyatanya cuma cari duit dari kita. Sudahi semua dan mari kita mulai lagi
dari awal, mari menyeduh kopi sambil duduk bersila membicarakan kita dan apa
yang mesti dilakukan. Lupakan semua sakit kegagalan yang ternyata tak mampu
mendewasakan. Mengingat pepatah “mundur selangkah untuk maju 1000 langkah” taka
apa jadi pegangan. Biarlah kita terpuruk sekarang supaya lusa nanti kita bisa
jadi pemenang Itupun dengan syarat kita
tau kesalahan dan mau berubah.
Kalau kita tak mau berubah tak
tau apalagi yang mesti dilakukan. Tegakah kita akan terus melihat pemandangan
yang melankolis seperti kemarin. Tahu tim kita tak akan lolos namun saudara
sebangsa kita tetap datang ke stadion dengan atribut maksimal dengan bendera
merah putih melingkar di dahi dan di lengan, berteriak sepanjang pertandingan bahwa
Garuda ada di dada. Tegakah kita menghianati mereka, dengan uang pribadi rela
datang hanya ingin melihat pahlawan mereka bermain yang tak lagi memliki
harapan. ''Kejadian'' di tribun stadion Hang Day kemarin membuat saya terharu
sangat haru. Benarlah kata Pangeran Siahaan bahwa penonton sepak bola kita
adalah sekawanan manusia Irasional. Biarlah kami terus menjadi orang yang tak
rasional dan waras karena kewarasan akan membunuh kami. Teruntuk
bapak-bapak di PSSI kapan WARAS’E (waras)??????