Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Rabu, 24 Desember 2014

Omong Kosong

By: Unknown On: Rabu, Desember 24, 2014
  • Share The Gag

  • Ada-ada saja memang cara televisi memperkenalkan arti “kesuksesan”. Kalau dipersempit ruangnya tengoklah dunia hiburan kita. Capek, bingung, dahi berkerut yang tak habis-habis. Bosan pasti untuk membahasnya namun sayang untuk dilewatkan.

    Viki Prasetyo karena hanya gaya bicara dan mantan tunangan pedangdut kesohor karena goyangan ala itik namun setiap menyanyi vokalnya kemana-mana itu bisa jadi “artis” karena televisi.

    Sony seorang tukang parkir yang cuma bisa mencari bapaknya dan bilang wakwaw ini disebut sebagai rising star dunia hiburan kita. Akal sehat kemana?

    Ashanti menjadi sangat dikenal cuma karena menikah dengan Anang. Bernyanyipun masih lebih baik teman saya ketika setiap penerimaan mahasiswa baru dia diberi panggung, sayangnya temanku ini tidak kawin dengan Anang.

    Ada orang yang dipanggil Ustad karena televisi.  Dengan nama yang menakutkan gabungan Guntur dan bumi beberapa kali disorot kamera bermanja ria dengan istrinya mantan penyanyi cilik itu. Eh usut punya usut orang itu tidak lebih dari sekedar penjual obat di emperan pasar dengan  trik murahannya.

    Banyak orang dungu yang diberi panggung namun  orang-orang yang jelas punya bakat tak dilirik sama sekali. Akal sehat?

    PS:
    Ada teman yang bilang kok tulisanmu kritikan semua.  Saya bilang saja sama teman yang bertanya, tulisan saya itu bukan kritik tapi itu nyinyir. Jadi jangan pernah bertanya pesan moralnya di mana??? Seperti presenter itu yang setiap kali bertanya kepada sutradara yang baru mengeluarkan film barunya. Nikmati saja namanya saja omong kosong





    Jumat, 19 Desember 2014

    #SaveOurPSM

    By: Unknown On: Jumat, Desember 19, 2014
  • Share The Gag
  • Sepp Blatter sempat was-was piala dunia 2014  bisa-bisa gagal terlakasana akibat gelombang demontrasi besar rakyat Brazil menolak diselenggarakannya Piala Dunia di negara mereka. Sedikit mengherankan memang, rakyat Brazil yang dikenal menuhankan sepak bola malah menolak gelaran sepak bola terbesar dirumahnya  sendiri. Mereka marah karena pemerintah menghabiskan miliaran dollar untuk membangun stadion baru namun banyak rakyatnya tak mampu berobat, tak mendapat beasiswa, sampai belum mendapatkan rumah. Pesan yang tersirat dari kejadian itu menjelaskan satu hal bahwa rakyat Brazil memang mendewakan Pele, Ronaldo, sampai Neymar namun mereka dan sepakbola tidak lebih penting dari pemenuhan hak-hak dasarnya sebagai manusia.

    Kemarin suporter PSM Makassar menggelar aksi damai yang bermula dari tagar #SaveOurPsm di twitter. Karebosi menjadi titik  mereka berkumpul dengan spanduk dan atribut yang intinya menginginkan PSM kembali bermain di Makassar setelah musim kompetisi lalu menjadi tim "musafir" dan harus bermain di Surabaya.Sekedar informasi PSM terusir dari Makassar karena stadion yang diajukan-Mattoanging tidak lulus verivikasi karena dianggap tak layak menggelar pertandingan sekelas Liga Super. memasuki musim baru      naga-naganya PSM harus kembali terpental dan kembali main di luar Makassar karena persoalan stadion yang belum mendapat solusi. ini membuat geram para Suporter dan menginginkan Walikota Makassar bergerak dan menemukan jalan keluarnya. ada juga yang berteriak agar gubernur Sulawesi-Selatan untuk turun tangan atasi permasalahan. sampai ada yang berkata jika tuntutan mereka tak digubris maka mereka akan menurunkan massa yang lebih banyak.

    Bicara sepak bola Indonesia memang tak ada habisnya seakan-akan sepak bola menguasai hajat hidup orang banyak. memang dulu saya sempat menulis "kenapa harus sepak bola" yang berisi bagaimana sepak bola harusnya terperhatikan namun lama-lama saya merasa kita keblinger. Harus dipahami dulu, klub-klub di Indonesia sekarang sudah menjadi klub pro bukan lagi amatir. apa yang membedakan? dulu sebelum liga indonesia digelar, kita punya dua liga-Galatama dan Perserikatan. Galatama disebut-sebut sebagai liga profesional karena klub yang bermain di dalamnya adalah klub yang berasal dari berbagai perusahaan yang artinya pembiayaan klub ditanggung sendiri oleh Perusahaan yang bersangkutan contohnya Semen Padang. Perserikatan disebut liga amatir karena klub dibentuk oleh pemda-pemda dan dibiayai  APBD contohnya klub perserikatan itu yang namanya  memakai Persatuan Sepak bola macam Persib, Persija, PSMS, dan tentu saja PSM.  Tahun 1994 dileburlah dua kompetisi ini menjadi Liga semi pro yang dikenal sebagai Liga Indonesia. kenapa semi pro karena itu tadi masih ada klub-klub amatir yang ikut berkompetisi di dalamnya. Masuk tahun 2008 angin sepakbola mengarah ke 100% profesional.  Mengubah Liga Indonesia menjadi Liga Super Indonesia dengan yang dulu memakai sistem dua wilayah kini cuma menjadi 1 wilayah mencontoh liga-liga yang ada di Eropa.


    Memasuki era Liga Super Indonesia cerita-cerita tentang penunggakan gaji dan adanya klub yang harus terusir dan berganti homebase dimulai. Banyak mungkin yang melihat ini sebagai masalah namun bagi saya ini adalah kemajuan. Kebanyakan klub yang menunggak gaji jelas adalah klub-klub yang belum bisa lepas dari ketergantungan APBD. Berpuluh tahun disusui uang rakyat tiba-tiba harus kena stop karena faktor regulasi (Permendagri). Banyaknya klub yang harus mencari kandang baru karna stadionnya tidak layak karena tak lolos verivikasi sebenarnya memberi sentilan pada klub-klub yang katanya sudah pro itu untuk mulai saatnya berpikir berinvestasi pada aset (Infrastruktur) bukan pinjam milik pemerintah.

    Makanya saya sedikit heran kenapa Walikota Makassar dan Gubernur sul-sel yang menjadi sasaran caci maki ketika PSM tak bisa bermain di Makassar. klub profesional harus menghidupi dirinya sendiri, era klub yang berafiliasi dengan pemerintah daerah mari kita tinggalkan. Kalaulah persoalan mereka pernah punya janji terhadap PSM ya harus sabar karena masalah kita saat ini bukan saja sepak bola. Pendidikan, kesehatan, perumahan yang layak, infrastruktur jalan, dan semua hal yang menyangkut hak dasar manusia harus menjadi prioritas nomor satu. saya tidak mau lagi ada cerita uang kita yang terhimpun di APBD dipakai oleh klub sepak bola tanpa pernah diaudit kejelasan pemakaiannya. Uang rakyat habis hanya untuk kepuasan gegap gempita tontonan sepak bola. jadi hubungannya dengan paragraph awal tentang keadaan Brazil sebelum piala dunia dengan para suporter PSM jelas bahwa memang kota ini kota sepak bola namun seperti yang saya utarakan sebelumnya sepak bola tidak lebih penting dari persoalan pemenuhan hak-hak dasar manusia untuk mendapatkan kesehatan, pendidikan, dan kesejahtraan.


    Ada baiknya energi teman-teman suporter PSM beralih kepada manajemen PSM sendiri. Memaksa mereka untuk mencoba berpikir bagaimana klub berinvestasi pada aset sehingga masalah stadion nantinya tidak lagi menjadi cerita yang terus berulang. kenapa manajemen tidak dipaksa untuk berhemat dan mengalihkan dana yang mereka punya untuk membangun stadion sendiri. Melihat denyut transfer klub-klub ISL memasuki musim baru ini sungguh membuat saya geleng-geleng kepala. klub bisa mengeluarkan uang puluhan milyar rupiah hanya untuk mengontrak pemain baru. Kenapa kontrak pemain ini tidak ditekan saja dan dialihkan untuk membangun stadion baru. Persija Jakarta hanya untuk mengontrak dua pemain asal Eropa harus mengeluarkan uang sampai 9 M. Nilai yang sangat fantastis. Padahal untuk membangun satu lapangan latihan yang sudah berstandar international mirip yang dimiliki Man United di Carrington cuma butuh kurang dari 9 M. 


    Kontrak bisa mencapai puluhan milyar per musim padahal untuk membangun stadion berstandar A dengan kapasitas 25.000 penonton cuma butuh 35 M diluar tanah. Bayangkan kalau klub-klub Indonesia berpikir ke arah sana mungkin kurang dari 10 tahun sudah memiliki stadion sendiri tanpa harus lagi mengemis & menyewa milik pemerintah. Budaya instan yang masih dipegang teguh oleh kebanyakan klub di Indonesia sepertinya menjadi hambatan. Setiap tahun jor-joran membeli pemain bagus dan mahal demi gelar juara yang belum tentu didapatkan. Kenapa tidak memulai membangun akademi menghasilkan pemain sendiri dan dipakai untuk mengarungi liga-yang pasti nilai kontraknya jauh lebih murah. uang yang dulunya disiapakan untuk mengontrak pemain mahal dialihkan untuk membangun stadion. Tidak usah mencontoh Eropa, Thailand lewat Buriram United dan Muangthong united bisa menjadi contoh yang pas,punya stadion sendiri. Buriram United memiliki stadion yang bernama I-mobile stadium. stadionnya hampir menyerupai stadion di Eropa tanpa lintasan atletik. stadionnya punya fasilitas mewah, lift, bahkan restoran yang memiliki kaca yang berhadapan dengan lapangan sehingga bisa makan sambil menonton pertandingan. dengan fasilitas yang mumpuni dan pengelolaan keuangan yang baik membuat sponsor-sponsor terkenal datang mengahampiri Buriram United mulai dari Chang sampai Yamaha dengan begini Buriram bisa membeli pemain-pemain berkualitas. Perlu di ketahui pemain-pemain Buriram mendominasi Timnas Thailand AFF cup yang sekarang  sedang berlangsung dengan rataan usia dibawah 23 tahun.
    I-Mobile stadium. Buriram United


    Jika PSM punya stadion sendiri tidak membuat pengeluaran klub makin membengkak justru klub bisa memanen uang dari sana. penjualan tiket musiman akan lebih mudah. menawarkan kursi di salah satu sudut stadion kepada para corporate atau kalangan berduit yang cinta bola dengan harga diatas rata-rata. menjual nama stadion ke perusahaan besar dengan nilai kontrak yang lama dan panjang. Membuat tour stadion dan Museum serta membuka gerai resmi merchandise dan pernak pernik klub di area stadion. 

    Membayangkan semua itu akan terkabul suatu saat nanti.AMIN

    EWAKO PSM 








    Senin, 15 Desember 2014

    Pecinta Alam dalam Perdebatan ra uwis uwis

    By: Unknown On: Senin, Desember 15, 2014
  • Share The Gag


  • Melihat DP (Display picture)BBM salah satu teman bahwa hari ini ada seminar yang membahas mahasiswa Pecinta Alam lewat kajian istilah dan menggugat eksistensi. Dengan tersenyum saya mulai meraba-raba kira-kira apa isi dari seminarnya. Karena penasaran, saya pun pergi dan menghadiri dengan terlebih dahulu meminta izin atasan.  Dalam perjalanan, saya terus berpikir mudah-mudahan ada perspektif baru yang bisa saya dapat dari berbagai seminar sejenis yang telah saya ikuti sebelum-sebelumnya. Sayangnya ketika saya tiba, pembahasan sudah akan berakhir karena dari dua sesi pemaparan, saya hadir ketika sudah di pertengahan sesi kedua. Berikut yang saya bisa bagi dari seminar tadi;

    Pembicara kedua mencoba melihat kata Pecinta Alam dari aspek Etimologis (asal usul kata). Karena kebetulan kata Alam akarnya dari bahasa Arab jadi pemateri yang kedua ini menggunakan pendekatan dengan kajian bahasa arab yang sesekali menyerempet ke Islam yang tidak mau diakuinya. Karena ketika saya mempermasalahkan tentang kenapa definisi pecinta alam menggunakan perspektif islam dia menyanggah bahwa ini bukan Islam tapi bahasa Arab. Seumur-umur konsep khalifah hanya ada di Islam sedang tadi beberapa kali pemateri menekankan kata khalifah ketika menjelaskan kata pecinta alam.

    Seperti yang sudah saya prediksi bahwa arahnya akan sama dengan seminar-seminar yang saya ikuti dulu bahwa pecinta alam berarti hubungan esensial antara manusia sebagai khalifah serta alam yang memberinya hidup. Ada hubungan timbal balik akan keduanya. Sebutlah semua orang-orang yang ada di lingkaran pecinta alam semua sepakat akan hal itu.  Saya membuat penekanan pada kata “sepakat” karena beberapa orang atau kita belum pernah bersepakat tentang ke-pencinta alaman secara definitif.

    Untuk terminologi pecinta alam saya cenderung sepakat dengan apa yang ditulis oleh Edi Miswar seorang Blogger dari Aceh, berikut kutipannya;

    Jika kita usut dari arti dan nilai kata "pecinta alam" itu sendiri maka kita akan mendapat makna sbb:
    pecinta artinya adalah orang yang melakukan pekerjaan mencintai sementara cinta itu sendiri berdasarkan pemikiran psikolog Erik Fromm, setidaknya harus menyertakan 3 buah entitas yaitu adanya:

    1. “Passion” atau greget sebagai manifestasi dari adanya ketertarikan secara fisik inderawi.
    2.“Intimate” atau adanya hubungan intim, aman, dan akrab yang membentuk hubungan saling percaya.
    3. “Commitment” atau adanya kesedian untuk rela berkorban secara sadar, atas hubungan interaksi yang terjadi.


    Seorang penikmat, penyelidik atau petualang, mungkin dengan mudah mempunyai rasa “passion” maupun “intimate” dengan alam disekelilingnya, namun belum tentu mempunyai “commitment” atau kesiapan dan kerelaan untuk berkorban, jika terjadi sesuatu pada alam yang digelutinya.
    Pembeda dari penikmat, penyelidik dan petualang dengan Pecinta-Alam, terletak dalam “commitment” yang telah ditanamkan sejak awal, dalam masa pembentukan kepribadian pecinta alam saat mengikuti pendidikan dasar, dan dibangun lebih kokoh dalam pengembaraan serta pergaulannya dengan alam itu sendiri.

    Dari kutipan diatas maka tadi ketika seminar berlangsung saya coba bertanya kepada forum dan panelis bahwa apa batasan orang-orang yang mengaku Pecinta Alam dengan Non-Pecinta Alam.  Kalau memakai entitas Cinta dari Erich Fromm, orang-orang di Walhi, GreenPeace ataupun Riyani Djangkaru lebih tepat disebut pecinta alam dibanding kita-kita ini yang mengaku pecinta alam. Karena dari ketiga indikatornya, semua terpenuhi bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki passion, orang-orang yang sudah intim dan akrab dengan alam, dan jelas mereka adalah orang-orang yang memiliki komitmen karena Walhi dan GreenPeace rela mati dalam memperjuangkan lingkungan. Pun Riyani Djangkaru setelah tidak lagi di Jejak Petualang kini menjadi aktifis penyelamatan Hiu di Indonesia. Sedang kita yang berada di lingkungan pecinta alam linglung dan mungkin cuma mentok pada passion dan Intimate namun kita gagal atau takut berkomitmen. Selayaknya ketika suka dengan perempuan kita cuma berani berpacaran namun ketika diajak berbicara pernikahan tidak semua kita berani berkata tegas bilang ‘Ya’ karena tak sanggup akan komitmen.Jadi dari bahasan seminar kali ini terlihat jelas cuma terpaku ke kata Alam namun tidak fokus ke kata Cinta-nya. forum gagal mengeksplorasi Cinta. Persoalan alam  sudah finish kita tak perlu belajar pada alam karena alam sudah memberi kita pelajaran.

    Belum lagi ada yang bertanya apa bedanya Pe dan Pen dalam kata Pecinta dan Pencinta alam. Hal ini pernah dibahasa dalam forum semacam seminar oleh UKM PA Edelweis FS UH (asal organisasi saya) yang membuktikan satu hal, kita tidak cukup baik dalam mendokumentasikan dan mensosialisasikan hasil forum yang kita buat. Itulah kenapa kadang saya skeptis dengan forum-forum yang dibuat dalam rangka menggugat eksistensi Pecinta Alam karena kadang ada bias antara apakah kita benar-benar ingin mencari akar persoalan atau cuma sekedar euphoria kita akan ruang ilmiah sebagai mahasiswa.  

    Hal menarik lainnya yang muncul dalam seminar tadi bahwa ada siratan seolah-olah kita sebagai Pecinta Alam sudah ter-standarisasi namun  anehnya ada pe-nanya mengeluarkan definisinya sendiri tentang apa itu pecinta alam. Dari itu saya sudah tekankan di awal bahwa kita ini belum pernah bersepakat secara definitif apa itu pecinta alam namun sudah ada hal-hal sumir bahwa yang benar itu ini, kalau yang itu salah,LOL. Bagaimana ceritanya?.

    Saya kira cukup dari banyaknya yang saya bisa ceritakan dari seminar tadi. Selalu menarik ketika ada diskusi seperti ini namun terasa ringkih. 60 tahun istilah itu ada tapi dentuman gugatannya baru saya rasakan 5 tahun belakang, tidakkah ini terasa absurd. Mudah-mudahan seminar –seminar semacam ini nantinya akan berganti angle dan perspektif yang lain karena sudah ada tiga seminar yang saya hadiri dan hanya berputar di lingkaran yang sama. Jika kita sepakat kata Pecinta Alam ada di area yang tak bisa kita sentuh ibarat Agama mari bermain di tataran syariat saja karena kita tidak mampu bertemu Tuhan dan mengajaknya bersila sambil menyeruput kopi sesekali.









    Kamis, 04 Desember 2014

    Masalah Kita Bukan Itu...

    By: Unknown On: Kamis, Desember 04, 2014
  • Share The Gag

  • Terlalu banyak hal yang dibuat seakan-akan itu adalah kebutuhan. Terlalu banyak hal yang seakan-akan itu menjadi masalah utama. Bermaksud menonton berita untuk mendapatkan informasi namun kenyataannya informasinya bukan untuk kita. Parahnya itu dilakukan hampir seluruh televisi yang menggelari diri sebagai Tv Nasional.

    Hampir berbulan-bulan kita disuguhkan berita permasalahan Ahok yang ditolak Front Pembela Islam menjadi Gubernur di jakarta dan berita itu terus digoreng sampai kini hingga mencapai titik kulminasi dengan konyolnya kita dipertontonkan bahwa sekarang Jakarta punya dua Gubernur. Entah ini berita untuk siapa karena orang-orang yang di luar Jakarta tidak punya kepentingan apa-apa dari permasalahan itu. Kalau televisi berlomba-lomba sebagai agen pencerdas bangsa mungkin harus dibalik dulu logikanya, yang mau mencerdaskan dulu yang harus waras. Setiap hari berita itu ada dan kita semua diajak berusaha mencari solusinya seakan-akan ketika masalah itu selesai saudara sebangsa kita di Papua menjadi sejahtera, nelayan-nelayan di pesisir selatan Jawa menjadi makmur, dan tidak ada lagi masalah lingkungan di Kalimantan yang sebentar lagi hutannya akan habis.

    Ribut masalah terpecahnya Golkar jadi dua. Tontonan perebutan kursi kekuasaan politik nan nikmat penuh intrik. Tapi apalah berita itu dibanding saudara kita diperbatasan yang akhirnya harus memilih berpindah menjadi warga Negara sebrang karena tak terperhatikan, apalah berita itu dibanding saudara Papua kita untuk sekolah saja tara mampu.  Apalah arti berita itu dibanding saudara kita di NTT yang dari lalu teriak kapan sumber air menjadi dekat.

    Ayo mari kembali waras masalah kita bukan Gubernur DKI yang bukan Islam, masalah kita bukan Golkar yang kembali dipimpin Ical, masalah kita bukan karena sekarang Syahrini ada KW-nya,ayo kembali menjadi waras masalah kita bukan Cita Citatah yang setiap hari mengerang sakitnya tuh di sini, masalah kita bukan Rafi Ahmad yang tidak lagi sendiri karena katanya telah menemukan takdirnya, masalah kita buaaanyak lebih dari sekedar itu.

    .