Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Jumat, 19 Desember 2014

Tagged Under:

#SaveOurPSM

By: Unknown On: Jumat, Desember 19, 2014
  • Share The Gag
  • Sepp Blatter sempat was-was piala dunia 2014  bisa-bisa gagal terlakasana akibat gelombang demontrasi besar rakyat Brazil menolak diselenggarakannya Piala Dunia di negara mereka. Sedikit mengherankan memang, rakyat Brazil yang dikenal menuhankan sepak bola malah menolak gelaran sepak bola terbesar dirumahnya  sendiri. Mereka marah karena pemerintah menghabiskan miliaran dollar untuk membangun stadion baru namun banyak rakyatnya tak mampu berobat, tak mendapat beasiswa, sampai belum mendapatkan rumah. Pesan yang tersirat dari kejadian itu menjelaskan satu hal bahwa rakyat Brazil memang mendewakan Pele, Ronaldo, sampai Neymar namun mereka dan sepakbola tidak lebih penting dari pemenuhan hak-hak dasarnya sebagai manusia.

    Kemarin suporter PSM Makassar menggelar aksi damai yang bermula dari tagar #SaveOurPsm di twitter. Karebosi menjadi titik  mereka berkumpul dengan spanduk dan atribut yang intinya menginginkan PSM kembali bermain di Makassar setelah musim kompetisi lalu menjadi tim "musafir" dan harus bermain di Surabaya.Sekedar informasi PSM terusir dari Makassar karena stadion yang diajukan-Mattoanging tidak lulus verivikasi karena dianggap tak layak menggelar pertandingan sekelas Liga Super. memasuki musim baru      naga-naganya PSM harus kembali terpental dan kembali main di luar Makassar karena persoalan stadion yang belum mendapat solusi. ini membuat geram para Suporter dan menginginkan Walikota Makassar bergerak dan menemukan jalan keluarnya. ada juga yang berteriak agar gubernur Sulawesi-Selatan untuk turun tangan atasi permasalahan. sampai ada yang berkata jika tuntutan mereka tak digubris maka mereka akan menurunkan massa yang lebih banyak.

    Bicara sepak bola Indonesia memang tak ada habisnya seakan-akan sepak bola menguasai hajat hidup orang banyak. memang dulu saya sempat menulis "kenapa harus sepak bola" yang berisi bagaimana sepak bola harusnya terperhatikan namun lama-lama saya merasa kita keblinger. Harus dipahami dulu, klub-klub di Indonesia sekarang sudah menjadi klub pro bukan lagi amatir. apa yang membedakan? dulu sebelum liga indonesia digelar, kita punya dua liga-Galatama dan Perserikatan. Galatama disebut-sebut sebagai liga profesional karena klub yang bermain di dalamnya adalah klub yang berasal dari berbagai perusahaan yang artinya pembiayaan klub ditanggung sendiri oleh Perusahaan yang bersangkutan contohnya Semen Padang. Perserikatan disebut liga amatir karena klub dibentuk oleh pemda-pemda dan dibiayai  APBD contohnya klub perserikatan itu yang namanya  memakai Persatuan Sepak bola macam Persib, Persija, PSMS, dan tentu saja PSM.  Tahun 1994 dileburlah dua kompetisi ini menjadi Liga semi pro yang dikenal sebagai Liga Indonesia. kenapa semi pro karena itu tadi masih ada klub-klub amatir yang ikut berkompetisi di dalamnya. Masuk tahun 2008 angin sepakbola mengarah ke 100% profesional.  Mengubah Liga Indonesia menjadi Liga Super Indonesia dengan yang dulu memakai sistem dua wilayah kini cuma menjadi 1 wilayah mencontoh liga-liga yang ada di Eropa.


    Memasuki era Liga Super Indonesia cerita-cerita tentang penunggakan gaji dan adanya klub yang harus terusir dan berganti homebase dimulai. Banyak mungkin yang melihat ini sebagai masalah namun bagi saya ini adalah kemajuan. Kebanyakan klub yang menunggak gaji jelas adalah klub-klub yang belum bisa lepas dari ketergantungan APBD. Berpuluh tahun disusui uang rakyat tiba-tiba harus kena stop karena faktor regulasi (Permendagri). Banyaknya klub yang harus mencari kandang baru karna stadionnya tidak layak karena tak lolos verivikasi sebenarnya memberi sentilan pada klub-klub yang katanya sudah pro itu untuk mulai saatnya berpikir berinvestasi pada aset (Infrastruktur) bukan pinjam milik pemerintah.

    Makanya saya sedikit heran kenapa Walikota Makassar dan Gubernur sul-sel yang menjadi sasaran caci maki ketika PSM tak bisa bermain di Makassar. klub profesional harus menghidupi dirinya sendiri, era klub yang berafiliasi dengan pemerintah daerah mari kita tinggalkan. Kalaulah persoalan mereka pernah punya janji terhadap PSM ya harus sabar karena masalah kita saat ini bukan saja sepak bola. Pendidikan, kesehatan, perumahan yang layak, infrastruktur jalan, dan semua hal yang menyangkut hak dasar manusia harus menjadi prioritas nomor satu. saya tidak mau lagi ada cerita uang kita yang terhimpun di APBD dipakai oleh klub sepak bola tanpa pernah diaudit kejelasan pemakaiannya. Uang rakyat habis hanya untuk kepuasan gegap gempita tontonan sepak bola. jadi hubungannya dengan paragraph awal tentang keadaan Brazil sebelum piala dunia dengan para suporter PSM jelas bahwa memang kota ini kota sepak bola namun seperti yang saya utarakan sebelumnya sepak bola tidak lebih penting dari persoalan pemenuhan hak-hak dasar manusia untuk mendapatkan kesehatan, pendidikan, dan kesejahtraan.


    Ada baiknya energi teman-teman suporter PSM beralih kepada manajemen PSM sendiri. Memaksa mereka untuk mencoba berpikir bagaimana klub berinvestasi pada aset sehingga masalah stadion nantinya tidak lagi menjadi cerita yang terus berulang. kenapa manajemen tidak dipaksa untuk berhemat dan mengalihkan dana yang mereka punya untuk membangun stadion sendiri. Melihat denyut transfer klub-klub ISL memasuki musim baru ini sungguh membuat saya geleng-geleng kepala. klub bisa mengeluarkan uang puluhan milyar rupiah hanya untuk mengontrak pemain baru. Kenapa kontrak pemain ini tidak ditekan saja dan dialihkan untuk membangun stadion baru. Persija Jakarta hanya untuk mengontrak dua pemain asal Eropa harus mengeluarkan uang sampai 9 M. Nilai yang sangat fantastis. Padahal untuk membangun satu lapangan latihan yang sudah berstandar international mirip yang dimiliki Man United di Carrington cuma butuh kurang dari 9 M. 


    Kontrak bisa mencapai puluhan milyar per musim padahal untuk membangun stadion berstandar A dengan kapasitas 25.000 penonton cuma butuh 35 M diluar tanah. Bayangkan kalau klub-klub Indonesia berpikir ke arah sana mungkin kurang dari 10 tahun sudah memiliki stadion sendiri tanpa harus lagi mengemis & menyewa milik pemerintah. Budaya instan yang masih dipegang teguh oleh kebanyakan klub di Indonesia sepertinya menjadi hambatan. Setiap tahun jor-joran membeli pemain bagus dan mahal demi gelar juara yang belum tentu didapatkan. Kenapa tidak memulai membangun akademi menghasilkan pemain sendiri dan dipakai untuk mengarungi liga-yang pasti nilai kontraknya jauh lebih murah. uang yang dulunya disiapakan untuk mengontrak pemain mahal dialihkan untuk membangun stadion. Tidak usah mencontoh Eropa, Thailand lewat Buriram United dan Muangthong united bisa menjadi contoh yang pas,punya stadion sendiri. Buriram United memiliki stadion yang bernama I-mobile stadium. stadionnya hampir menyerupai stadion di Eropa tanpa lintasan atletik. stadionnya punya fasilitas mewah, lift, bahkan restoran yang memiliki kaca yang berhadapan dengan lapangan sehingga bisa makan sambil menonton pertandingan. dengan fasilitas yang mumpuni dan pengelolaan keuangan yang baik membuat sponsor-sponsor terkenal datang mengahampiri Buriram United mulai dari Chang sampai Yamaha dengan begini Buriram bisa membeli pemain-pemain berkualitas. Perlu di ketahui pemain-pemain Buriram mendominasi Timnas Thailand AFF cup yang sekarang  sedang berlangsung dengan rataan usia dibawah 23 tahun.
    I-Mobile stadium. Buriram United


    Jika PSM punya stadion sendiri tidak membuat pengeluaran klub makin membengkak justru klub bisa memanen uang dari sana. penjualan tiket musiman akan lebih mudah. menawarkan kursi di salah satu sudut stadion kepada para corporate atau kalangan berduit yang cinta bola dengan harga diatas rata-rata. menjual nama stadion ke perusahaan besar dengan nilai kontrak yang lama dan panjang. Membuat tour stadion dan Museum serta membuka gerai resmi merchandise dan pernak pernik klub di area stadion. 

    Membayangkan semua itu akan terkabul suatu saat nanti.AMIN

    EWAKO PSM 








    0 komentar:

    Posting Komentar