Melihat DP (Display picture)BBM salah satu teman bahwa hari ini ada seminar yang membahas mahasiswa Pecinta
Alam lewat kajian istilah dan menggugat eksistensi. Dengan tersenyum saya mulai meraba-raba
kira-kira apa isi dari seminarnya. Karena penasaran, saya pun pergi dan
menghadiri dengan terlebih dahulu meminta izin atasan. Dalam perjalanan, saya terus berpikir mudah-mudahan
ada perspektif baru yang bisa saya dapat dari berbagai seminar sejenis yang
telah saya ikuti sebelum-sebelumnya. Sayangnya ketika saya tiba, pembahasan
sudah akan berakhir karena dari dua sesi pemaparan, saya hadir ketika sudah di pertengahan
sesi kedua. Berikut yang saya bisa bagi dari seminar tadi;
Pembicara kedua mencoba melihat kata
Pecinta Alam dari aspek Etimologis (asal usul kata). Karena kebetulan kata Alam
akarnya dari bahasa Arab jadi pemateri yang kedua ini menggunakan pendekatan dengan
kajian bahasa arab yang sesekali menyerempet ke Islam yang tidak mau diakuinya.
Karena ketika saya mempermasalahkan tentang kenapa definisi pecinta alam menggunakan
perspektif islam dia menyanggah bahwa ini bukan Islam tapi bahasa Arab. Seumur-umur
konsep khalifah hanya ada di Islam sedang tadi beberapa kali pemateri menekankan kata
khalifah ketika menjelaskan kata pecinta alam.
Seperti yang sudah saya prediksi
bahwa arahnya akan sama dengan seminar-seminar yang saya ikuti dulu bahwa pecinta
alam berarti hubungan esensial antara manusia sebagai khalifah serta alam yang
memberinya hidup. Ada hubungan timbal balik akan keduanya. Sebutlah semua orang-orang
yang ada di lingkaran pecinta alam semua sepakat
akan hal itu. Saya membuat penekanan pada kata “sepakat”
karena beberapa orang atau kita belum pernah bersepakat tentang ke-pencinta
alaman secara definitif.
Untuk terminologi pecinta alam
saya cenderung sepakat dengan apa yang ditulis oleh Edi Miswar seorang Blogger
dari Aceh, berikut kutipannya;
Jika kita usut dari arti dan nilai kata "pecinta alam" itu sendiri maka kita akan mendapat makna sbb:
pecinta artinya adalah orang yang melakukan pekerjaan mencintai sementara cinta itu sendiri berdasarkan pemikiran psikolog Erik Fromm, setidaknya harus menyertakan 3 buah entitas yaitu adanya:
1. “Passion” atau greget sebagai manifestasi dari
adanya ketertarikan secara fisik inderawi.
2.“Intimate” atau adanya hubungan intim, aman,
dan akrab yang membentuk hubungan saling percaya.
3. “Commitment” atau adanya kesedian untuk rela
berkorban secara sadar, atas hubungan interaksi yang terjadi.
Seorang penikmat, penyelidik atau petualang,
mungkin dengan mudah mempunyai rasa “passion” maupun “intimate” dengan alam
disekelilingnya, namun belum tentu mempunyai “commitment” atau kesiapan dan
kerelaan untuk berkorban, jika terjadi sesuatu pada alam yang digelutinya.
Pembeda dari penikmat, penyelidik dan petualang
dengan Pecinta-Alam, terletak dalam “commitment” yang telah ditanamkan sejak
awal, dalam masa pembentukan kepribadian pecinta alam saat mengikuti pendidikan
dasar, dan dibangun lebih kokoh dalam pengembaraan serta pergaulannya dengan
alam itu sendiri.
Dari
kutipan diatas maka tadi ketika seminar berlangsung saya coba bertanya kepada
forum dan panelis bahwa apa batasan orang-orang yang mengaku Pecinta Alam dengan
Non-Pecinta Alam. Kalau memakai entitas Cinta
dari Erich Fromm, orang-orang di Walhi, GreenPeace ataupun Riyani Djangkaru
lebih tepat disebut pecinta alam dibanding kita-kita ini yang mengaku pecinta
alam. Karena dari ketiga indikatornya, semua terpenuhi bahwa mereka adalah
orang-orang yang memiliki passion, orang-orang
yang sudah intim dan akrab dengan alam, dan jelas mereka adalah orang-orang
yang memiliki komitmen karena Walhi dan GreenPeace rela mati dalam memperjuangkan
lingkungan. Pun Riyani Djangkaru setelah tidak lagi di Jejak Petualang kini menjadi
aktifis penyelamatan Hiu di Indonesia. Sedang kita yang berada di lingkungan
pecinta alam linglung dan mungkin cuma mentok pada passion dan Intimate namun
kita gagal atau takut berkomitmen. Selayaknya ketika suka dengan perempuan kita
cuma berani berpacaran namun ketika diajak berbicara pernikahan tidak semua kita
berani berkata tegas bilang ‘Ya’ karena tak sanggup akan komitmen.Jadi dari bahasan seminar kali ini terlihat jelas cuma terpaku ke kata Alam namun tidak fokus ke kata Cinta-nya. forum gagal mengeksplorasi Cinta. Persoalan alam sudah finish kita tak perlu belajar pada alam karena alam
sudah memberi kita pelajaran.
Belum
lagi ada yang bertanya apa bedanya Pe dan Pen dalam kata Pecinta dan Pencinta
alam. Hal ini pernah dibahasa dalam forum semacam seminar oleh UKM PA Edelweis FS
UH (asal organisasi saya) yang membuktikan satu hal, kita tidak cukup baik
dalam mendokumentasikan dan mensosialisasikan hasil forum yang kita buat. Itulah
kenapa kadang saya skeptis dengan forum-forum yang dibuat dalam rangka
menggugat eksistensi Pecinta Alam karena kadang ada bias antara apakah kita benar-benar ingin mencari akar persoalan atau cuma sekedar
euphoria kita akan ruang ilmiah sebagai mahasiswa.
Hal
menarik lainnya yang muncul dalam seminar tadi bahwa ada siratan seolah-olah kita
sebagai Pecinta Alam sudah ter-standarisasi namun anehnya ada pe-nanya mengeluarkan definisinya
sendiri tentang apa itu pecinta alam. Dari itu saya sudah tekankan di awal
bahwa kita ini belum pernah bersepakat secara definitif apa itu pecinta alam
namun sudah ada hal-hal sumir bahwa yang benar itu ini, kalau yang itu salah,LOL. Bagaimana ceritanya?.
Saya
kira cukup dari banyaknya yang saya bisa ceritakan dari seminar tadi. Selalu menarik ketika ada diskusi seperti ini namun terasa ringkih. 60 tahun istilah itu ada tapi dentuman gugatannya baru saya rasakan 5 tahun belakang, tidakkah ini terasa absurd. Mudah-mudahan seminar –seminar semacam ini nantinya akan berganti angle dan
perspektif yang lain karena sudah ada tiga seminar yang saya hadiri dan hanya
berputar di lingkaran yang sama. Jika kita sepakat kata Pecinta Alam ada di
area yang tak bisa kita sentuh ibarat Agama mari bermain di
tataran syariat saja karena kita tidak mampu bertemu Tuhan dan mengajaknya
bersila sambil menyeruput kopi sesekali.