Ada yang tidak
biasa kalo kita melihat klasemen Liga 1 sekarang ini. Memasuki pekan ke 11 ada
nama PSM Makassar di ujung papan. Ketidak biasaan ini saya wakilkan untuk para
dede gemes yang heran kenapa ujug-ujug PSM ada di atas. Untuk kita ataupun saya
sendiri yang sudah mengikuti PSM sejak era Azwar Anas mimpin PSSI, menjadi
sangat normal dan biasa. Ini bukan ujug-ujug kita cuma kembali ke fitrah
kembali ke khittah.
Saya mungkin
keseringan nge-scroll timeline Twitter
ataupun laman komen setiap akun balbalan
di Instagram sampai saya merasa baper. Bagaimana tidak baper cobak, terlalu
banyak pertanyaan,keheranaan dede gemes
terhadap capaian PSM awal musim ini. Kok
bisa PSM?,dari mana mau kemana ujug-ujug
PSM di atas? atau yang paling gemes, PSM memangnya klub besar ya? duarrr. Eh ngomong- ngomong dede gemes,
ini saya pakai sebagai istilah, karena kalo lihat ava atau profil picture
mereka yang komen seperti itu rata-rata masih dede-dede yang tampak lahir di
pertengahan 90an. Selalu masygul perasaan ini kalo mereka ngomenin PSM. Tapi ya
nda bisa disalahkan juga kenapa mereka mengatakan itu karena mungkin baru mulai
ngeh nonton sepakbola nasional ketika Arema punya embel-embel Indonesia di
belakangnya. Masa-masa di mana prestasi PSM terbilang biasa saja. Masa-masa di mana PSM tidak lagi konsisten
berada di atas. Ketika PSM lagi jaya-jayanya anak-anak itu masih ngendon di rumah sambil ngedot di ketek
emaknya. Ibarat milenial yang cuma tau
ada Barcelona ketika Valencia bisa dua kali beruntun masuk final Liga Champion
di awal millennium.
Romantisme masa
lalu memang selalu terasa nikmat namun tidak menjadi produktif jika dihadapkan
pada kenyataan sekarang. Kita bisa saja teriak sambil koar kalo PSM klub besar
tapi satu dekade terakhir hampir tidak ada yang bisa menunjukkan itu. Jadi
wajar pertanyaan dan pernyataan seperti itu akan terus muncul. Saya takutnya
kalo keadaan tidak berubah,kita akan bertingkah bagai fans Liverpool yang
setiap tahunnya cuma bisa menjadi historian yang kerjaannya mendengungkan
kejayaan masa lalu ketika kegagalan terus-menerus terjadi. Semoga saja tidak.
Iya tidak, karena ada ghirah,ada semangat yang lain yang saya rasakan musim ini
dan semoga saja angin “surga” benar-benar mengarah ke Makassar tahun ini. Ada
Amin?
Fenomena dari
ujug-ujug PSM ini saya mencermati ada beberapa hal yang menarik. Ada salah dua
“persoalan” yang hampir selalu membuat saya ngakak. Yang pertama soal PSM yang katanya
musim ini menjadi anak emas federasi.
Kita pasti sering mendengar selentingan kalau juara liga Indonesia itu by setting. Katanya juaranya sudah
ditentukan sebelum liga dimulai. Hehehe kalau soal ini mah sepakbola kita sudah khatam dan sekarang
angin selentingan itu mengarah ke PSM. Entah asumsi mblegedes ini datang dari mana tapi kalo ngeliat gejolak
linimasa,asumsi ini lebih banyak dibicarakan ketika PSM menang melawan SFC dan
PBFC yang katanya kontoversial. Sebentar…sebentar… mengukur dari dua
pertandingan saja lalu menarik kesimpulan maha dahsyat seperti itu bukankah
terlihat konyol?, sepakbola sekarang itu sudah di atas kertas, menafikan
fakta-fakta dari statistik permainan malah terkesan naïf. Dan dari dua
pertandingan itu PSM too superior,they
deserved to win!. Namun anehnya di pertandingan lain yang PSM menangkan,
mereka serta merta memuji sebagai tim yang paling enak ditonton. Kan mbingungi kenapa bisa selentingan itu
menghampiri PSM,dengan melihat statistik saja asumsi itu sudah patah,mau pakai
asumsi lain, nggggg Nurdin halid dan
Andi Darussalam Tabussala juga sudah nggak ada di PSM #eh. Jadi apa,
kenapa????, ya mereka mau nyinyir aja. Tidak ada yang lebih membahagiakan
menyinyiri tim yang menangan, karena kodrat nya memang begitu. Tanya deh
perasaan fans Juve dan Barca.
Yang kedua yang
juga menarik perhatian saya dari fenomena ujug-ujug PSM ini ya dari
suporternya. Katanya musim ini banyak yang tiba-tiba jadi hipster PSM a.k.a
supporter karbitan. Jadi ceritanya nih sekarang terbelah ada yang katanya
supoter sejati ada yang cuma karbitan. Pffffttt,mengukur
sebagai supporter sejati itu saya bingung kalo bukan hasil dari mendaku atau
ego ke-aku-an. Pun supporter karbitan juga bingung ngukurnya dari mana,karena
kalo konteks Indonesia seperti yang dikatakan Anthony Sutton, kita tidak bisa
memilih sebuah klub tapi klub lah yang telah memilih kita,tsahhh. Jadi
wong-wong Makassar yang hipster ini mestinya dukung siapa?
Bandung,malang,Sleman? Ya nda. Kalo soalan ini anomalinya ada di Tio Nugroho,sportcaster SCTV ini dari mana kemana
jadi pendukung PSM. Wong Jogja tinggal di Jakarta tapi dukung PSM,iki piye???.
Kita keselek mungkin dengan kata-kata Shankly
nya Liverpool yang apalah apalah itu. Sepakbola ini nda usah dibikin ribet,ruwet,ngejelimet cukup dinikmati
saja toh pada akhirnya PSM menjadi tim yang okupansi stadionnya tertinggi di
Liga karena sumbangsih para hipster ini.
Come on dude just enjoy the show.
-
0 komentar:
Posting Komentar