Temukan Saya

Twitter : @daenggun Facebook: Darmawansyah Gunawan E-Mail : darmawangun@gmail.com

Jumat, 13 Desember 2013

Tagged Under:

Komersialisasi Pendidikan

By: Unknown On: Jumat, Desember 13, 2013
  • Share The Gag
  • Saya punya ponakan (anak dari kakak saya) umurnya hampir 3 tahun, kalau ingat gelak sama ketawanya saya suka senyum-senyum sendiri. Biarpun secara emosional saya tidak terlalu dekat karena intensitas saya bertemu dan bercengkrama dengannya amat jarang namun saya selalu rindu dengan tingkah polahnya yang menggemaskan. Karena intensitas bertemu yang  jarang itu lah (jarang pulang kampung) jadi saya ketika itu baru tahu bahwa dia sudah bersekolah. Bukan TK apalgi SD tapi play group yang kini dirubah oleh pemerintah dengan istilah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Tidak ada yang aneh memang namun hal itu membuat saya kembali menerawang ke masa lalu dimana saya tumbuh dengan ingus naik turun sambil diusap kemudian berlari lagi mengejar bola dengan tanpa mengenal hal-hal tersebut entah itu Play Group ataupun PAUD. Bukan karena Ibu saya tidak mengenalkan tapi hal tersebut belum ada ketika itu. Terlepas mungkin alasan kakak saya "menyekolahkan" anaknya sebagai tempat "penitipan anak" sembari dia dan suaminya bekerja namun tentu akan menjadi pertanyaan apakah Play Group/ PAUD ini kebutuhan atau hanya sebuah trend yang di gembar-gemborkan sebagai bagian dari kehidupan keluarga modern?.

    Gambaran momok komersilnya pendidikan bukan hanya berkutat di level pendidkan tinggi namun tanpa kita sadari ternyata di tingkat paling dasar pun kini menggrogoti. Pasti setiap orang tua mempunyai alasan memasukkan anaknya ke PAUD atau Play Group  namun keadaannya lambat laun berubah menjadi sesuatu yang dulu bisa dipilih menjadi sesuatu yang wajib. Gambarannya begini, ketika saya kecil dulu atau kita-kita ini yang termasuk generasi MTV (paham maksud saya kan..hahah) orang tua kita bisa memilih kalau umurnya sudah cukup bisa langsung memasukkan anaknya ke SD tanpa harus ke TK dulu dan itu sah-sah saja. Karena memang menurut UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003, SD (sekolah dasar) adalah tempat di mana semuanya bermula. Di situlah semua pertama kali anak di ajarkan hal-hal dasar-membaca,menulis dan berhitung namun makin kesini hal itu berubah. Di sinilah komersialisasi itu dimulai (pengingkaran UU),  pemerintah atau siapapun itu mengeluarkan peraturan bahwa anak-anak sebelum masuk SD sudah harus bisa membaca,menulis dan berhitung. Jadi beban guru-guru SD yang dulunya mengajarkan Calistung mau tidak mau pindah ke jenjang pre-school yang kita kenal dengan TK,Play Group/PAUD, hal inilah yang membuat TK,Play Group/PAUD seakan-akan wajib. Pernah dengar biaya masuk TK sekarang ataupun Play Group? pasti banyak yang heran ataupun tercengang termasuk saya melihat biaya masuk TK. Perlu di catat  ya ini TK dan biayanya adalah eng ing eng  yang paling murah adalah Rp 530.000- Rp 7.500.000 (di kota-kota besar) men WTF. SPP saya saja sampai saya selesai kuliah masih lebih banyakan itu, logika nya dimana masuk TK semahal itu, apa setelah lulus TK anak-anak ini sudah siap masuk dunia kerja? atau anak-anak ini sudah bisa menemukan Passion-nya setelah lulus Tk apa?

    Yang paling absurd adalah saya kutip dari materi Stand Up nya Ernest Prakasa (komik) ",yang lagi marak sekarang di kota-kota besar para orang tua sudah memasukkan anaknya ke sebuah "sekolah" padahal anaknya masih berumur 6 bulan". Men 6 bulan sudah di masukkan ke "sekolah" alasannya adalah kata para orang tua anaknya bisa belajar bersosialisasi dan belajar merangkak, what? bersosialisasi di umur 6 bulan dimana si anak cuma bisa menangis,menguap,minum susu,dan tidur, dipaksa untuk itu. Merangkak, seumur-umur saya melihat bayi merangkak tidak perlu sekolah hal tersebut sudah terpola secara alamiah sebagai bagian dari fase pertumbuhan.

    Satu lagi yang paling menggelikan kalau teman-teman menyimak ketika tahun ajaran baru ada beberapa SD dalam tahapan seleksi penerimaan siswa baru ada tahapan Interview/wawancara. Kalau orang tuanya yang di wawancara masih agak wajar meskipun menurut saya tidak perlu tapi ini calon siswa nya men yang di wawancara. Ada yang bisa membayangkan nda tujuan dan isi pertanyaan dari wawancara tersebut. 

    Melihat gejala ini pasti banyak orang yang ngeri menjadi orang tua, hal yang dulunya hanya sebuah "suplemen" kini harus menjadi "obat". Pendidikan yang terbaik memang harus mahal tapi harus sesuai porsi. Cukuplah pendidkan tinggi yang "terkomersilkan" janganlah menyentuh sampai akar. Biarlah tetap menjadi pilihan tidak harus berubah menjadi sesuatu yang seakan-akan wajib.

    0 komentar:

    Posting Komentar