Mendengar
nama Tukul Arwana, mungkin seantero nusantara tidak ada yang tidak
mengenal sosok ini, berkat acara yang dipandunya “Empat Mata” yang
katanya hampir ditonton oleh setengah rakyat Indonesia. Pada setiap jam pemutaran acara, tukul seakan menjelma menjadi sang super star di tengah hiruk-pikuk jet set
negeri ini yang hanya selalu menghadirkan isu perceraian,
perselingkuhan, dan kisah cinta putus-nyambung. Tapi disini saya menulis
tulisan ini bukan untuk membahas hal itu tapi bagaimana saya melihat
Tukul dengan sangat cerdas mengolah lelucon–lelucon sampah yang di buang
di suatu tong yang bernama televisi.
Mungkin
saat kita melihat tontonan tersebut (Empat Mata) kita hanya menganggap
sebagai tontonan biasa yang menghadirkan beberapa bintang tamu dengan
tema tertentu dan sedikit lelucon tapi tidak menjadi biasa ketika
lelucon –lelucon yang ditampilkan terkesan kasar malah bisa dikatakan
kurang ajar dan sangat tidak mendidik. Kata-kata yang mengandung ejekan,
terkesan sarkastik yang selalu menyerang bentuk fisik seseorang seakan
mengalir begitu saja, belum lagi joke-joke yang menyerempet ke
hal-hal yang terkesan porno. Mungkin sudah sangat lumrah jika umpatan,
cacian, dan makian terjadi di negeri kita ini mulai dari kalangan bawah
sampai yang dikatakan kaum elite sekalipun sehingga semua orang yang
menonton acara tersebut menganggap sebagai hal yang biasa saja.
Dalam perkembangannya, dunia pertelevisian khususnya acara-acara talk show
yang ada di Indonesia tidak banyak mengalami perkembangan yang cukup
berarti, di mana sebagian besar insan pertelevisian Indonesia masih
sebagai plagiator bukan sebagai pencipta ide, sebagai contoh Dorce Show
yang mengadopsi habis-habisan acara talk show tersukses di
Amerika Oprah Winfrey Show ataupun acara Tali Kasih yang menggunakan
sisi keprihatinan untuk menggaet simpati penonton, dari sisi yang lain
Empat Mata hadir dihadapan Anda. Acara yang dipandu oleh Tukul tersebut
menggaet simpati penonton dengan menjual lelucon yang sudah basi dan tak
berkelas untuk ditonton di mana setiap episodenya selalu saja dengan setting yang sama. Ada
yang berperan sebagai yang “teraniyaya” dan juga sebagai sang
“penganiaya”, tidak jarang acara tersebut menyimpang dari tema karena
pelakon-pelakonnya, asyik saling mengumpat dan mencaci. Penulis
berkesimpulan bahwa acara-acara (talk show) di Indonesia yang bertemakan
seperti ini akan laku dibanding dengan acara-acara yang terkesan kaku,
formal dan sopan.
Untuk
itu kita sedapatnya mampu memilih dan memilah tontonan yang selayaknya
kita tonton, saya menulis ini bukan bermaksud karena saya anti-tukul
atau memprovokasi anda atau siapapun untuk tidak menonton acara tersebut
namun mungkin dapat menjadi pertimbangan apakah acara itu layak
ditonton apa tidak, karena masih banyak alternatif tontonan lain yang
jauh lebih berkualitas dan memberikan banyak manfaat.
0 komentar:
Posting Komentar