Sesak sangat sesak ketika melihat
Evan Dimas dan Putu Gede menangis sejadi-jadinya sesaat setelah wasit meniup
peluit tanda pertandingan berakhir. Jelas hal itu menggambarkan bagaimana
pedihnya mimipi mereka hancur nan lebur seketika. 1-3 dari Uzbekistan dan 0-1
dari Australia menghancurkan mimpi itu, ya mimpi yang juga menjadi mimpi saya,kita
dan semua jutaan rakyat Indonesia untuk bisa melihat timnasnya masuk piala
dunia. Saya haram mencaci mereka saya haram menghujat mereka karena saya tau
mereka sudah “berdarah-darah” untuk sampai di level sepakbola yang tak pernah
kita bayangkan. Sebelum ada mereka sepakbola kita tidak pernah punya harapan,
sepak bola kita menggalau dan gundah. Timnas kita untuk juara dilevel ASEAN
saja susahnya minta ampun, sepak bola kita seperti tidak pernah beranjak
kemana-mana. terlalu muluk bicara tingkat dunia berbicara di regional saja kita
tak mampu.
Sebelum September 2013 tidak ada
yang pernah membicarakan tim ini. selain karena waktu itu PSSI masih bermasalah
karena dualismenya, juga karena memang kita tak pernah serius mengelola Tim
nasional apa lagi berbicara ditingkatan kelompok umur. Satu-satunya yang
dikelola secara “serius” di sepak bola Indonesia adalah Liga Supernya, bukan karena Tim
nasional yang tangguh menjadi tujuan namun gelimangan uang yang meruah disana. Membuat
liga yang “bagus” berarti keuntungan besar buat beberapa orang di PSSI. FUCK
YOU!!!. Entah sudah berapa banyak orang yang peduli dengan sepa bola Indonesia
memberikan saran bahwa untuk membuat tim nasional yang tangguh harus dimulai
dari pembinaan namun karena kita tak sabar dan selalu ingin instan mentahlah
masuk-masukan itu.
Indra Syafrie secara tersirat
melakukan salah satu esensi dari pembinaan, talent scouting. Coach Indra harus
berjalan hampir ke seluruh indonesia meskipun salah apa boleh buat kondisi
memaksanya begitu. Coach Indra tidak perlu keliling Indonesia untuk mendapatkan
Yabes Roni di kupang atau Syahrul Kurniawan di Ngawi jika saja klub-klub di
Indonesia yang katanya professional itu mempunyai akademi sepakbolanya
masing-masing dan PSSI menyelenggarakan liga antar akademi tersebut. Karena mereka tidak melakukan dan tak mau
melakukan jadilah indra syafrie seperti Jokowi blusukan kemana-mana mencari
pemain, parahnya lagi tanpa ada biaya dari PSSI. Jancok!!!
Setelah timnas juara di Sidoarjo
barulah bajingan-bajingan itu angkat bicara dan mengklaim keberhasilan yang
sebenarnya tak pernah mereka lakukan. Membawanya keliling nusantara seperti
sirkus dan menjual pertandingan mereka ke stasiun televisi dengan harga yang
amat mahal menjadi follow up keberhasilan timnas U19 sekaligus membebani mereka
untuk lolos piala dunia. Indra syafrie yang mencoba bertahan dari tekanan tak
kuasa menolak dari tangan-tangan tamak nan serakah itu.
Sepak bola kita untuk dengan
Jepang saja sudah tertinggal 30 tahun lebih, belum kita berbicara Argentina,
Jerman, Belanda dan Spanyol. Jika tidak mulai dari sekarang haruskah kita
tertinggal 100 tahun dengan mereka. Shinji kagawa, Keisuke Honda adalah hasil
pembinaan jepang 20 tahun yang lalu. Goetze, Reus, dan Mueller hasil dari
pembinaan jerman ketika mereka gagal juara di Jepang 2002 lalu. Apakah kita
bisa berkata BP, Firman utina, Bachdim adalah hasil pembinaan kita berpuluh
tahun lalu????
Timnas U19 memberikan gambaran
jelas kepada kita bahwa tim yang hanya dibangun dalam sehari itu ternyata mampu
bermain sepak bola bagaimana kalau mereka lahir dari pembinaan yang serius tak
taulah bagaimana hasinya. Evan, Paulo, Ravi memberikan kita harapan bahwa anak
Indonesia mampu bermain sepakbola yang baik dan benar. Tugas PSSI sekarang
membuat harapan yang terus menjadi harapan menjadikannya kenyataan. Apa lagi
yang kamu tunggu jika tak melakukannya hari ini.
Untuk Garuda jaya terima kasih
telah memberikan kami kebanggaan. Jangan berhenti terbang. Seka air matamu
jangan lelah kemanapun bola berlari, raih mimpimu yang terkubur hari ini. Saya
tunggu kamu meraih emas di Asian games dirumah kita sendiri 2018 nanti. See u!
0 komentar:
Posting Komentar